Halaman

Search

15 April 2010

Nasib TKI di Malyasia : Majikan Manfaatkan Amnesti Untuk Menipu


KONDOMINIUM 18 lantai di Damansara Damai, Selangor itu boleh jadi akan segera menjadi salah satu bangunan megah kalau saja tak terjadi sengketa antara para pekerja Indonesia dan tauke (majikan) Malaysia. Kini, gedung yang sudah 90% jadi itu mangkrak. Ia seperti menjadi raksasa yang lumpuh dan kotor di antara bangunan-bangunan lain di kawasan itu. Hamdan dan Turyono, pekerja asal Banyuwangi, Jawa Timur memandang dengan geram hasil pekerjaan mereka itu. "Kalau tak ada kami, bangunan itu tak akan pernah ada," tandas Hamdan.
"Namun, mengapa mereka tak mau membayar pekerjaan kami? Mengapa mereka menganggap kami seperti binatang?" ungkap Turyono menyela dalam nada setengah berteriak.
Mereka layak bersedih. Tiga bulan gaji mereka bersama 82 pekerja lain memang belum dibayar. "Jumlahnya sekitar Rp 400 juta. Jumlahnya mungkin sedikit bagi orang-orang kaya. Namun bagi kami, (jumlah itu) sangat berarti," ujar Lukman Hakim, pekerja asal Banyuwangi yang ditunjuk sebagai wakil pekerja-pekerja yang belum menerima gaji itu.
Karena itu, Lukman dan kawan-kawan bertekad menuntut kepada Sri Megah Jaya hingga perusahaan yang memperkerjakan mereka di gedung tersebut membayar seluruh gaji mereka. "Kami akan segera pulang ke Indonesia setelah gaji kami diberikan. Kami tak ingin mempersulit Pemerintah Malaysia ataupun Pemerintah Indonesia. Akan tetapi, mbok ya kucuran keringat kami dihargai," tandas pria yang mengaku hanya lulus sekolah dasar tersebut.
Mengapa semua ini bisa terjadi? Lukman menuturkan, sebelum Malaysia melakukan Operasi Nasihat dan memberikan pengampunan (amnesti) terhadap para pekerja ilegal (tak memiliki dokumen resmi), sebenarnya gaji mereka lancar-lancar saja. Selama empat sampai lima tahun bekerja, mereka bisa menangguk ringgit dengan leluasa. "Rupa-rupanya, Operasi Nasihat ini justru digunakan oleh para tauke untuk menipu kami. Mereka tak mau membayar hingga masa pengampunan berakhir. O, kami memang miskin, tapi jangan sekali-kali menipu kami."
Dan, perlawanan pun mereka lakukan. Sejak 20 Desember 2004, mereka meminta Sri Megah Jaya membayar gaji. Malang, meskipun Lukman melaporkan persoalan ini ke Balai Polisi Petaling Jaya, Daya (bos dari Sri Megah Jaya) tak mau membayar. Setiap ditagih, dia berjanji akan membayar sebelum masa pengampunan (hingga 28 Februari) habis. Malah, pekerjaan para pekerja dianggap keliru. Dan, karena dianggap tak becus melakukan pekerjaan, para pekerja hanya diberi pinjaman 40.000 ringgit. Karena tak mampu mengusik Daya, Lukman pun berusaha bernegoisasi dengan Plato Contruction -perusahaan yang memperkerjakan Sri Megah Jaya. Hasilnya, ternyata berupa ancaman. "Kalau saya nggak mau bayar, kamu mau berbuat apa? Mau merobohkan bangunan, silakan! Mau melapor ke polisi, silakan. Mau mengadu ke Kedutaan Indonesia, silakan. Kami sudah punya pengacara yang kuat," tegas Jevander Sing, bos Plato.
Waktu itu wajah Lukman menegang tetapi dia masih bisa menguasai keadaan. "Saya tak mau menuntut apa-apa. Kami memang ilegal dan ingin segera pulang ke Indonesia sebelum pengampunan habis. Kami hanya menuntut gaji kami."
Di luar dugaan, Jevander, justru mengecam pekerjaan Lukman dan kawan-kawan. Bos beretnis India itu hanya mau memberikan pinjaman dan menuntut para pekerja memperbaiki segala pekerjaan yang belum rampung.
Pemasangan keramik, perbaikan plamir, dan berbagai pekerjaan lain pun segera diselesaikan oleh Lukman dan kawan-kawan. "Sayang gaji kami tetap diberikan. Kami kemudian mengadu ke Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI). Aduh, hasilnya juga nihil. Tak ada pertolongan. Mereka seakan-akan menutup kasus. Karena jengkel, kami kemudian membeberkan masalah ini ke televisi."
Setelah itu, barulah muncul reaksi. Media Indonesia terutama televisi, mulai berdatangan ke Malaysia. Malah Migran Care Indonesia juga datang dan berusaha menjadi mediator yang menghubungkan para pekerja dengan KBRI, Malaysia, dan para tauke.
Duta Besar (Dubes) Indonesia untuk Malaysia Rusdiharjo juga tak tinggal diam. Sabtu (12/2) lalu, dia berusaha meluncur ke bedeng (penampungan) dan bertemu dengan Lukman dan kawan-kawan. Lagi-lagi, ada hambatan yang sulit ditembus. Petugas satuan pengamanan perusahaan Sri Megah Jaya tak memperbolehkan dia dan Atase Ketenagakerjaan KBRI Abdul Malik masuk. Akhirnya, mereka hanya bertemu di pintu gerbang.
"Saya hanya ingin berbincang dengan mereka. Saya ingin melihat apakah benar para satuan pengaman membawa parang dan menggunakan anjing-anjing besar untuk menakut-nakuti para pekerja kita," tegas Rusdiharjo.
Setelah bercakap-cakap sebentar, Dubes yang murah senyum itu lantas menyarankan kepada Lukman dan kawan-kawan tetap pulang ke Indonesia. Apa pun yang terjadi, tak mungkin para pekerja Indonesia yang dianggap ilegal itu tetap tinggal di Malaysia tanpa dokumen resmi.
Apa reaksi Lukman dan kawan kawan? ''ya , sekali lagi kami memang ilegal , namun jangan sia sia kan kami.''(78j)