Mengadu nasib di negeri orang memang tak selalu seindah harapan. Ada sebagian BMI kita yang diperlakukan hanya sebagai ‘’barang dagangan’’ oleh perusahaan penyalur jasa tenaga kerja, agen dan majikan yang memperkerjakan BMI tersebut. Terkadang mereka diperlakukan sebagai budak yang harus bekerja siang dan malam, kurangnya jatah makanan. Sementara gaji yang diperoleh tidak seimbang dengan keringat yang bercucuran.
Seperti diketahui Negara Sakura atau Jepang, adalah sebuah negara yang maju, tapi untuk bisa menembus lapangan pekerjaan ke Jepang bukanlah hal yang mudah. Karena persaingan yang ketat dan persyaratan yang lumayan rumit dibanding negara lain. Penyaluran tenaga kerja ke Jepang, menggunakan system magang (trainee). Dengan system kontrak kerja selama 3 tahun dan proses seleksinya melalui Depnaker setempat (Jakarta, Surabaya, Jogja, Bandung dan Medan).
‘’Dengan aturan system magang ini, sebenarnya ada bagusnya Mbak, karena kita bisa sambil belajar, dan sekembalinya kita di Indonesia, kita tidak usah bingung karena perusahaan di Jepang ini punya cabang di Indonesia yang siap menampung kita jika kita ingin kembali bekerja lagi. Kalau masalah gaji, jangan ditanya mbak, samalah ama mbak mbak yang ada di Hong Kong. Dipotong mess, listrik, gas , malam makan sendiri, kerja mulai pagi dari jam 06.00 sampai 08.00 malam. Yang ada cuma capek, tau sendiri orang Jepang , bertemperamen keras dan sangat disiplin. Semua surat surat atau dokumen tentu yang pegang pihak perusahaan, “ ungkapnya.
Dengan status gelap (kaburan) ditambah dengan tidak adanya surat atau dokumen (ktp/paspor/visa/asuransi kesehatan), ruang gerak para TKI tersebut sangat sempit. Mereka tidak tenang, karena takut sewaktu waktu ketangkap oleh polisi imigrasi. Untuk mengelabuhi polisi imigrasi atau kecurigaan warga Jepang, diantara para TKI ini banyak yang mempunyai kendaraan sendiri atau mobil yang digunakan untuk berangkat-pulang kerja, berbelanja dipasar.
“Bukan untuk gaya gayaan mbak, kami beli mobil ini juga patungan, untuk berangkat dan pulang kerja, kalau naik bis atau kereta listrik bawah tanah, jelas resikonya besar bagi kami yang tidak punya surat surat , bisa bisa kami ketangkap, karena banyak polisi imigrasi yang berkeliaran dan menyamar, seperti apartemen yang saya gunakan ini, jumlah TKI kaburan atau illegal ini ada 7 orang, 3 orang termasuk saya kaburan dari system magang, 4 orang lagi , mereka masuk ke Jepang dengan menggunakan visa turis (visa turis biasanya hanya berlaku 3 bulan, dengan visa turis ini mereka ke Jepang bukannya berlibur , melainkan cari kerjaan), Tak akui emang mbak, saya baru bekerja 3 bulan di perusahaan swasta ini, tabungan saya sudah 100 juta, tapi saya mengalami kecelakaan saat bekerja, perusahaan tidak mau tau atau bertanggung jawab. Yang pertama saya terjatuh saat mengangkat barang, sakitnya luar biasa, sama perusahaan disuruh libur, itu pun libur berapa hari ya nanti dipotong gaji saya, jadi sama saja nggak libur. Terus yang kedua jari saya mengelupas terkena api saat mengelas barang, lagi lagi pihak perusahaan tidak mau tau, saya hanya dikasih obat merah dan kapas saja, karena pihak perusahaan tidak mau repot dengan membawa saya dirumah sakit, karena mereka tahu saya adalah kaburan dan tidak punya surat surat,’’ kata Heri.
Karena iming iming gaji yang besar, tanpa mereka pikir resikonya, walau gaji gede batin tersiksa, was was, tidur tidak tenang, karena takut sewaktu waktu mereka keciduk polisi imigrasi. Ini berbeda dengan TKI yang berstatus magang, mereka bebas pergi kemana mana, karena mereka punya visa kerja, cuma kendalanya gaji yang sangat minim. (uly/ayu/pmij)
* Terpublikasi di Tabloid Memorandum-Srby # 126