Halaman

Search

03 Desember 2009

Komplotan Penipu Incar BMI, Ajak Segera Nikah, Jemput Dijuanda, Kuras Harta Benda !


Penipuan terhadap buruh migran Indonesia (BMI) di Hong Kong dengan modus janji-janji hendak menikahi ternyata juga dilakoni komplotan lain selain komplotan orang yang mengaku Muhamad Ferdy Faruk Fajar. Komplotan tersebut mengaku bernama Didik Prasetyo alias Arif Harianto alias Agus. Komplotan ini bahkan lebih berani, yakni mengajak calon korbannya segera menikah yang dibuktikan dengan proses lamaran ke orang tua korban. Bisa ditebak ujung-ujungnya, kawanan penipu akhirnya menggondol sejumlah harta benda milik korbannya.
             Sejumlah BMI ramai-ramai mengadu ke Redaksi Memo setelah membaca tulisan tentang penipuan yang dilakukan komplotan Faruk. Mereka rata-rata telah menyerahkan uang paling sedikit Rp 20 juta pada komplotan Arief Harianto. Modus yang mereka jalani sama yakni mengajak kenalan, serius ingin menikah,  tanya alamat rumah dan dilanjutkan dengan proses lamaran. Seperti kawanan Faruk, Didik yang pernah tinggal di Jalan Pudak, Kepanjen, Kabupaten Malang ini mengajak sejumlah orang yang berperan sebagai ‘bapak’, ‘mami’ dan adik perempuan yang belakangan diketahui adalah istri sah Didik. Dalam proses lamaran, berempat datang dengan mengendarai mobil.

            “Awalnya saya memang ragu ketika dia tanya alamat rumah segala, wong baru kenal kok tanya alamat rumah. Tapi akhirnya aku percaya ketika mereka datang berempat yang diakui dengan bapak dan maminya. Orang tua saya pun percaya saja,” ujar Seviyana, salah satu korban kepada Memo.

            Seviyana dua tahun di Hong Kong. Menjelang dua tahun dan kontrak hampir habis ia berkenalan dengan Didik Prasetyo.  Karena Didik menunjukkan keseriusannya dan minta dia segera pulang, maka Evi, panggilan akrab Seviyana pun pulang pada Juli 2009 lalu. Kebetulan kontrak juga habis. Diakui Evi, ia awalnya salut dengan keseriusan Didik yang sampai proses melamar bersama bapak dan maminya tersebut. Setelah tiba di tanah air, Evi pun menjalani sebagai sepasang kekasih bersama Didik. Orang tua Evi pun tak keberatan karena Didik dan ‘keluarganya’ sudah melamar.

            Selama pacaran, Evi dengan jujur mangakui sangat menggilai Didik. Dia inginnya selama bersama kemana pun pergi. Mereka pun kerap menjalani hari-harinya selalu bersama layaknya sepasang kekasih yang tengah mempersiapkan hari ‘H’ pernikahan. “Saya sampai aku menangis kalau sehari saja tidak ketemu dia, padahal jujur dia orangnya juga tidak ganteng, masih ganteng Faruk lah,” ujar Evi.

            Soal fisik Didik, postur tubuhnya hampir mirip pelawak Thukul. Sebenarnya tidak ada keistimewaan ketika sekilas melihat lelaki yang belakangan diketahui sebagai bekas residiviz untuk kasus pembunuhan ini. Evi pun sangat yakin, Didik dalam menjalankan aksi tipu-tipunya dengan memanfaatkan ilmu hitam sejenis gendam, sehingga calon korbannya menurut saja seperti kerbau dicokok hidungnya. Ini berbeda dengan Faruk yang memang pintar memilih kata dan terkesan sangat santun, religius dan berpendidikan. Faruk pun punya suara yang menurut beberapa korbannya memenuhi segala persyaratan sebagai suara yang sangat ‘laki-laki’ yang pantas untuk diajak berkencan. “Kalau Didik biasa saja kok, tidak ada yang istimewa, makanya sekarang aku benci setengah mati, kalau ingat dia, mungkin gendamnya sudah pudar, sehingga aku sadar,” ujar Evi.


Untuk Panjar Uang Gedung


            Menurut Evi, setelah proses melamar, bapak dan ‘mami’ Didik dengan serius membicarakan prosesi pernikahan, termasuk hari ‘H’ dan gedung termpat resepsi. Dari sinilah proses pengerukan uang korban-korbanya dimulai. Dengan dalih ingin memberikan uang panjar gedung sebesar Rp juta yang kurang, Didik pun minta pada Evi untuk menstransfer uang. Saat permintaan itu diajukan, Didik pun pesan agar tidak memberitahukan pada orang tua Evi di Blitar dengan alasan biar tidak menambah pikiran.

Ternyata itu hanya siasat karena pada saat yang sama Didik ternyata juga minta bantuan uang panjar gedung pada orang tua Evi. Tidak hanya uang, namun juga motor orang tua Evi pun dibawa lari Didik. “Ya kalau dihitung-hitung, adalah kalau Rp 50 juta kerugian saya maupun orang tua atas ulah Didik,” ujar Evi seraya menambahkan ia sudah melaporkan kasus yang dialami ke Polres Blitar.

            Sebenarnya, Evi sejak awal sudah mencium gelagat tidak benar pada diri Didik. Itu bermula saat ia sedang jalan bareng dan Didik sedang di toilet, tiba-tiba HP ‘kekasihnya’ itu berdering yang ternyata dari BMI di Hong Kong. BMI tersebut dengan menangis minta agar barang dan uangnya dikembalikan. Evi pun dengan cepat menutup telepon tersebut sambil berpesan untuk menghubungi balik.

            “Waktu itu, Juli atau September aku terima telepon tersebut dari seorang wanita yang ternyata juga korban Didik. Tapi waktu itu aku tidak berdaya untuk melepas Didik, dan aku hanya bisa pesan agar tidak mengulangi perbuatannya,” ujar Evi.

            Setelah jalan bareng dengan Didik itulah, Evi akhirnya tahu sejumlah korban yang telah dikerjai Didik. Yang dia kenal ada lima orang. Selain BMI di Hong Kong juga BMI di Malaysia. Mereka berkenalan dan ujung-ujung dijemput di Juanda. Setelah lengah, harta bendanya dikuras dan korbannya diturunkan paksa di tengahjalan. Evi pun yakin Didik punya komplotan yang beroperasi di Juanda.


Mengaku Perwira Menengah Kantor Pelayaran


            Lain Evi, lain pula yang dialami sebut saja Retno, nama samaran,  seorang BMI yang juga mengaku jadi korban ulah Didik Prasetyo. Kepada Retno, Didik mengaku sebagai perwira menengah di sebuah kantor pelayaran yang berkantor di Surabaya. Dia mengaku serius mencari istri, dan Retnolah yang dinilai layak sebagai istrinya. Untuk itu ia minta agar segera pulang untuk menikah.

            Sebagai bentuk keseriusan niatnya, Didik pun ngotot menemui orang tua Retno di sebuah daerah di Jawa Timur. Retno awalnya ragu, namun Didik berhasil meyakinkan orang tua Retno di kampung. Bahkan orang tuanya ikut-ikutan menyarankan Retno untuk segera pulang. Tidak kurang alasan diajukan Retno untuk menunda kepulangannya, yakni mengaku masih punya banyak hutang di Hong Kong. Namun Didik dengan pintarnya meyakinkan Retno bahwa soal uang bisa dicari. Dia akan menjual mobilnya untuk pernikahan itu, namun sayang BPKB masih di dealer dan butuh Rp 15 juta untuk pelunasan.
            Singkat cerita, Retno pun terbuai bualan Didik. Dengan sedikit tabungan dan hutang sana sini, ia pun mengirimkan uang pada Didik sebesar Rp 11,6 juta. Seperti modus sebelumnya, Didik pun minta agar soal pengiriman uang tidak memberitahu orang tuanya di tanah air. Karena pada saat yang sama, Didik juga minta uang pada orang tua Retno dan berhasil membawa kabur Rp 1,5 juta. Tidak hanya uang, sepeda motor Revo juga dipinjam dengan alasan untuk ambil uang ke teman Didik yang dekat rumah, Cuma beda kecamatan. “Raiblah uang Rp 13 juta, sepeda motor dan HP sony. Tapi aku tidak dendam, semua ku kembalikan pada Yang Maha Kuasa. KU renungi ini kisah ini dan kujadikan guru terbaikku,” ujar Retno tabah kepada Memo. (uly) 

* Terpublikasi di Tabloid Memorandum Surabaya #124