Halaman

Search

30 Desember 2009

Dina Nuriyati, dari TKI, Berjuang untuk TKI




Tidak banyak mantan TKI yang meneruskan studi sepulang mereka dari luar negeri, apalagi sampai jenjang pendidikan strata 2 (S-2). Salah satunya adalah Dina Nuriyati (31). Tidak hanya berhasil meneruskan jenjang pendidikan, Dina juga menjadi aktifis buruh migran tingkat nasional, bahkan menjadi pendiri sebuah organisasi buruh migran tingkat nasional atau yang dikenal dengan Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI).
Seperti kebanyakan TKI, kepergian mereka ke luar negeri lebih disebabkan karena alasan ekonomi. Demikian juga dengan perempuan asli Desa Patuksari, Malang, Jawa Timur ini memutuskan berangkat ke Hongkong untuk membantu ekonomi keluarga. Sebagai anak dari keluarga miskin dengan keluarga besar, Dina memutuskan untuk merantau ke Hongkong selama empat tahun. Orang tuanya, almarhum Ngatemin, adalah seorang petani sekaligus sopir angkutan. Beratnya hidup sebagai petani membuat orang tuanya terjerat rentenir. “Saya ingin membantu pendidikan adik adik dan membantu orang tua melepaskan diri dari jerat rentenir,” katanya.
Niat tersebut dilaksanakan setelah ia tamat SMA.. Awalnya Dina berniat merantau ke Malaysia untuk bekerja sebagai buruh, tapi akhirnya gagal karena pabrik di negeri tersebut batal menerima pekerja dari Indonesia. Jadilah ia pergi ke Hongkong sebagai Penata Laksana rumah tangga (PLRT).
Bekerja sebagai PLRT di Hongkong, pada saat majikan pertama, ia mendapat gaji di bawah standard 3850 dollar, itupun yang ia terima cuma 2.000 karena harus dipotong dua bulan kerja dan biaya berangkat. Waktu itu gerakan buruh di Hongkong belum sekuat sekarang. Meski ada aturan agensi tidak boleh memotong gaji pekerja lebih dari 10% gaji pertama, tapi kenyataannya banyak agensi yang melakukannya.
Kondisi tersebut tidak membuat Dina patah semangat. Di luar waktu kerja, Dina menggunakan kesempatan waktu luang untuk menambah pengetahuan. Ia mengikuti kursus bahasa Mandarin yang diselengggarakan City College. Ia juga mengikuti kursus computer yang diselenggarakan oleh Indonesia Migrant Worker Union (IMWU) yang merupakan serikat pekerja PLRT Indonesia di Hongkong. Waktu itu masih sedikit anggotanya. IMWU juga menyelenggarakan kursus komputer tingkat dasar dan advance. Dina mengikuti kursus hingga tingkat advance. Disamping kursus komputer, ia juga mengikuti kursus kepempinan dan aktif di Serikat PRT dan mengikuti kegiatan paralegal yang yang merupakan pelatihan bagi PLRT agar bisa membangun komunikasi dengan majikan.
Dengan aktivitasnya tersebut, Dina menjadi tahu seluk beluk persoalan yang dihadapi buruh migrant Indonesia, apalagi setelah aktif bergabung dengan Serikat Buruh Migran Internasional (IMWU) di Hongkong. Meski bekerja sebagai pembantu rumah tangga, Dina tak mau menyia-nyiakan dirinya. “Saya banyak belajar di IMWU,” katanya.
Aktifitas di IMWU dijalani hingga ia menjadi executife comitte dan mengikuti berbagai pertemuan buruh internasional, seperti konferensi anti diskriminasi ras, serta konferensi untuk hak hak buruh migran agar diperbolehkan berorganisasi, di Nepal tahun 2000. Ia juga aktif di divisi reintegrasi yaitu suatu divisi yang memberikan bimbingan agar buruh migrant setelah pulang memiliki usaha. Kegiatan ini diselenggarakan oleh Coalition for Migran Right yang diikuti oleh berbagai negara seperti Filipina, India, Thailand dan Sri Langka
Sepulang dari Hongkong tahun 2001, Dina langsung kuliah di FKIP jurusan Bahasa Inggris Universitas Kanjuruhan Malang, Selama 5 tahun masa kuliah, 1 tahun digunakan untuk aktif di Forum Buruh Migran yang akhirnya menjadi serikat buruh migran. Ia baru bias menyelesaikan kuliahnya tahun 2006 karena kesibukannya aktif di Federasi Organisasi Buruh Migran Indonesia.
Menurut Dina, ia membiayai sendiri kuliahnya dengan dengan membeli truk untuk transportasi angkutan barang, yang keuntungannya ia pakai untuk kuliah. “Uang hasil kerja 3 tahun hanya habis untuk membantu keluarga, sedangkan yang satu tahun terakhir dapat saya tabung dan dinvestasikan untuk biaya kuliah,” tegasnya.
Ia sengaja lebih memilih investasi untuk pendidikan daripada untuk kepentingan konsumtif lain seperti membeli rumah atau membeli kemewahan lainnya.
Semasa kuliah, Dina juga aktif di Konsorsium Organisasi Buruh Migran Indonesia (KOBUMI) yang banyak menyelenggarakan kursus untuk buruh migran. Interaksi dengan LSM buruh juga terjadi karena waktu banyak kasus seperti di Nunukan dan lain lain. Dari beberapa LSM yang sering bertemu itu sepakat untuk membentuk Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) tahun 2003, dan ia terpilih sebagai ketua umum selama 2 tahun. Pada kongres tahun 2005, Dina menyerahkan jabatan ketua umum kepada Miftah Farid, dan ia lebih aktif sebagai dewan pertimbangan.
Setelah selesai kuliah, Dina bekerja di Aceh di Trade Union Care Center. Di sini ia memiliki kesempatan untuk kembali berinteraksi dengan serikat buruh local. Ketika IFES membuka kesempatan pendidikan S-2 untuk aktifis buruh, Dina pun mencoba dan berhasil lolos. Ia mengikuti pendidikan S-2 di Jerman yang diselengarakan Global University yang merupakan kerjasama Global Labour University dengan Universitas Kasel dan Berlin School of Economy, “Saya bangga meski pesertanya ratusan, saya bisa lolos,” kenangnya.
Program S-2 tersebut ia selesaikan selama 1 tahun dengan nilai nilai yang baik. Ia juga sempat magang di ILO Jenewa selama 1,5 tahun. Dina kini aktif terus di dunia buruh bersama SBMI dan LSM lainnya.

Sebagai aktivis buruh migran, banyak sekali obsesinya yang belum terpenuhi. Ia berharap TKI mesti banyak menabung untuk merencanakan masa depannya, menggunakan waktunya selama kerja untuk kegiatan positif seperti aktif di serikat buruh/organisasi, kursus-kursus dan lain lain. (Tha)