Halaman

Search

06 Desember 2009

Buruh Migrant Indonesia Bila Rela di Gaji Separuh, Bertahan Tiga Kali Kontrak


Disaat sejumlah buruh migrant Indonesia (BMI) di Hong Kong yang menerima perlakuan digaji di bawah standar (underpayment) mereka lebih memilih kabur, namun tidak bagi Laila (24). Buruh migran asal Waleri, Kendal, Jawa Tengah ini sama sekali tidak protes, malah terkesan menikmati ‘ketidakadilan’, karena berkurangnya hak-hak yang mesti diterimanya. Laila hanya ‘nrimo ing pandum’ alias pasrah.

Seperti diketahui kasus underpayment  merupakan kasus terbesar yang dialami BMI di HK, selain kekerasan, dan pelecehan seksual.  Menghadapi kasus ini, umumnya BMI memilih kabur atau memutuskan kontrak kerja, lantas melaporkan permasalahannya ke departemen tenaga kerja setempat. Makanya tidak heran,  shelter (penampungan) di Hong Kong, 95% diisi BMI yang sedang tertimpa masalah gaji di bawah standar ini.

Bahkan permasalahan gaji dibawah standar ini juga kerap mendapat perhatian khusus dari berbagai organisasi buruh yang ada di Hong Kong. Organisasi buruh  (IMWU, ATKI, KOTKIHO, PILAR) di setiap aksi yang mereka gelar tak lupa menyoroti permasalahan tersebut. Underpayment jelas-jelas merupakan pengingkaran hak-hak BMI, karena saat tanda tangan kontrak kerja tertulis dengan gaji full, sesuai dengan peraturan pemerintah Hong Kong, gaji standar BMI adalah HK$ 3580.

Namun permasalahan yang dihadapi Laila memang menarik. Ia jelas-jelas menerima gaji hanya separoh, namun Laila tetap ‘adem ayem’. Di saat BMI yang lain tidak menerima diperlakukan dengan menerima gaji dibawah standar, Laila masih juga bertahan. Bahkan dia sudah tandatangan kontrak kerjanya yang ke 3 (jalan 7 tahun). Selama 7 tahun ini,  dia menerima gaji separuh atau sebesar HK$ 2000.  Tidak terbesit sama sekali di benaknya  untuk kabur apalagi melaporkan majikannya ke departeman tenaga kerja setempat. Dia santai santai saja. Bahkan dia pun sangat berat hati untuk melepas pekerjaan nya ini. Laila sendiri tidak mau mencari majikan baru lagi. Ada apa?

Kalau dilihat pekerjaan Laila, memang sungguh sangat ‘’enteng’’. Dia dirumah hanya berdua dengan Kungkung (kakek). Semua pekerjaan dihandle oleh Laila. Karena kungkung sudah tidak bisa jalan, duduk di kursi roda.  Tidak seperti BMI BMI yang lain yang bekerja sampai larut, jam 23.00 – 24.000 baru tidur. Itupun kadang bangun awal jam 05.00 dan 06.00 pagi (biasanya yang menjaga anak, harus bangun lebih awal persiapan untuk sekolah). Sedang Laila, jam 19.00 (jam 7 malam) pekerjaannya sudah selesai. Ia hanya duduk santai nonton tivi bersama kakek yang dirawatnya. Bangun pagi pun sesukanya Laila, itu pun kadang siang hari Laila masih sempat  tidur siang. Sesuatu yang mustahil bisa dilakukan oleh BMI BMI yang lainnya yang mempunyai majikan rewel atau jahat, apa lagi kalau yang punya majikan selalu standby di rumah.

‘’Saya hanya berdua dengan kungkung mbak, anak anaknya ada di Tailok (daratan Cina), waktu di penampungan dulu memang saya tandatangan kontrakkerjanya gaji full, kalau nggak salah waktu itu HK$ 3200. Begitu sampai di rumahnya ini kakek, ada majikan dan juga agen, mereka menjelaskan kepada saya, jika nanti waktu gajian saya hanya menerima separuh HK$ 1800, waktu itu saya mengangguk kepala saja, tanda setuju. Waktu saya datang saja kakek, maupun anak anaknya sangat baik sama saya. Segala keperluan saya baik itu shampoo, sabun, odol maupun pakaian hangat saat musim dingin dibelikan ama anaknya kakek. Anaknya kakek juga pada ngomong, minta maaf tidak bisa mengaji saya dengan gaji full, karena mereka sendiri juga di Tailok sana hidupnya pas pas an. Mereka bukan bos, karena mereka juga kerja ikut orang. Dan kakek ini juga tidak mau tinggal di Tailok, mau nya di Hong Kong karena orangtua yang ada di Hong Kong kan sangat diperhatikan oleh pemerintah HK,’’ ungkap Laila kepada Memo saat ketemu ditaman flat yang biasa dia dengan kakeknya olahraga pagi.

Sebagaimana orang Jawa pada umumnya, yang nrimo dan tepo sliro, tipikel Laila pun tidak jauh dari itu. Ia pun sangat memahami kondisi majikannya, terlebih sang majikan sudah mengatakan apa adanya tentang ekonominya. Laila pun tak ada niat untuk protes.

‘’Ta jalani apa ada nya mbak, gaji separuh maupun full buat saya sama saja, walaupun saya terima gaji separuh , tapi ‘’ceperan’’ saya banyak, hahaha. Anaknya kakeknya kalau pada pulang, kerap saya dikasih uang, ngajak saya makan di restoran. Buat saya libur maupun nggak juga sama, karena tiap hari kakek selalu saya bawa jalan jalan. Saking enaknya kerja ikut ini kakek sampai sampai saya sendiri lupa pulang ke kampung halaman. Dan satu saya juga merasa benar benar nyaman kerja ikut kakek  ini. Teman temanku yang lain sering ngasih masukan, untuk melaporkan masalahku ini ke labour karena bergaji separoh, tapi saya nggak ada niat, liat wajah kakek ini sungguh tidak tega. Melihat kebaikan kakek beserta anak anaknya yang lain , nggak sampai hati. Teman teman ku yang lain yang pada gaji full saja kaya apa ? Pada dapat majikan jahat koyo’mak lampir’’ , apa apa beli sendiri, makan juga beli sendiri, samimawon mbak,” ungkapnya mengakhiri pembicaraannya dengan Memo. (uly)

* Terpublikasi di Tabloid Memo # 125