Halaman

Search

15 Desember 2009

Akhir dari Perjuangan ...



Aku sudah bukan perawan sebelum engkau memperkosaku. Dunia yang tak beradab telah mengoyak selaput daraku dalam ranjang jaman yang semakin membusuk. Di mana televisi hanya menyiarkan berita kriminalitas dan film biru bukan lagi hal yang tabu. Seorang artis yang tak begitu dikenal terlibat affair dengan seorang bapak anggota dewan yang terhormat, hingga skandal sex mereka bermunculan di ponsel-ponsel, hingga anak kecil pun bisa menikmatinya.
Padahal dulu, aku benci dengan cerita-cerita seperti itu. Aku lebih menyukai kisah Gibran dan Salma, atau Khais dan Laila, atau Romeo danJuliet? Kisah cinta yang begitu dramatis dan menghujam hati siapapun yang mendengarnya. Cinta tanpa pretensi lain selain kesucian cinta itu sendiri.
Jijik bila mengenangnya, namun akhirnya menjadi biasa saja. Hingga aku betul-betul dengan keikhlasan membiarkanmu menikmati tubuhku, dan orgasme ini sungguh kekal dan nyata. Kita jadi sering melakukannya secara diam-diam. Di bawah purnama yang telanjang, di atas tumpukan sampah yang tak karuan warna dan baunya, bahkan di antara kegelisahan orang pada hidup yang makin cemarut. Aku dan engkau menikmatinya,
menikmati dengan seluruh cinta Adam pada Hawa.
“Suatu saat kita pasti menikah,” begitu bisikmu tiap kali mencumbuku.
Waktu yang terus saja melaju dan kita masih saja setia. Tak seorang pun tahu kisah ini. Kita menatanya begitu rapi dan hati-hati. Sedikit pun tak ada curiga. Di mata mereka, aku adalah gadis yang begitu manis dan tak mungin melakukan dosa, tak ada cela, perfect.
Hari itu kita bertemu, masih sembunyi-sembunyi dan tak seorang pun tahu. Warung kopi dan teh poci yang kelewat manisnya. Aku memandangmu, memandang guratan-guratan kasar di permukaan kulitmu yang kecoklatan. Engkau seorang pekerja keras, bahkan kutemukan itu pada tiap hela nafasmu, begitu diburu.
“Aku hendak kabarkan sesuatu.”
Seseorang memesan kopi dan duduk pada seberang kursi, engkau masih sehening pagi.
“Adikku Intan akan menikah dengan kekasih yang sudah lama diimpikannnya, namun sesuai tradisi, mereka menungguku.”
Engkau menghela nafas dan membuang pandang ke jalanan, begitu ramai debu dan asap menyatu.
“Apa mungkin aku menikahimu ?”
Tanya itu begitu gamang dan aku menemukanmu begitu bimbang. Sadar, ini tak mudah untukmu, begitu rumitnya kisah ini, namun tak mungkin begitu saja berlalu meninggalkannya atau memaksakan kebersamaan.
“Sebab, meminangmu tak cukup dengan keberanian saja.”
Begitu deru angin berlalu dan sepasang matamu menjadi kuyu.
“Tak kumiliki sesuatu yang berarti untuk meminangmu. Lantas aku harus apa dan bagaimana ?”
Tanya dengan nada sedikit memaksa itu akhirnya hanya menggantung, sementara jalanan semakin sesak, serupa yang menyesak dalam dadaku juga dadamu.
Pertemuan itu tak menuntaskan tanya dan kemelut yang memenuhi syaraf otakku yang semakin kusut. Aku tak menemukan sinar dimana aku bisa dengan tegak melangkah. Aku justru menimpakan begitu banyak kesulitan pada orang lain. Pada adikku Intan yang tak berdosa, pada Ibu yang polos dan tak mengerti apa-apa, padamu juga, Kekasihku. Bukankah ini juga karena aku? Andai aku tak kembali dan menyulut cintamu, kau tak mungkin begitu utuh menyerahkan jiwamu. Sedangkan Bapak? Bapak sebenarnya juga tidak salah. Hanya saja, terkadang darah ksatrianya tak mampu menyentuh dada Sudra yang tulus dengan kepapaannya, sekalipun tangan mereka mengusap mesra telapak
kakinya. Tetap akan ada jarak, jarak yang tidak akan pernah dapat di seberangi, serupa ngarai yang dalam dan curam.
Usiaku sudah 27 tahun tak terasa, semalam Bapak mengatakan jika usiaku itu sudah cukup matang untuk membangun sebuah keluarga. Melahirkan dan merawat anak-anak. Aku diam, tak ada komentar yang pantas aku lontarkan. Bapak begitu berwibawa, aku tak sanggup mengatakan sepatah katapun apa lagi menatap matanya,
bahkan juga tak sanggup menolak saat ia mengatakan rencana perjodohan. Seseorang bernama Bagus, dengan latar belakang dan masa depan yang baik.
“Gadis cerdas tidak akan menolaknya, dan tidak ada yang perlu Bapak cemaskan,” kata-kata Bapak itu begitu keras menghantam jantungku, hingga debarnya semakin tak menentu. Tak ada tawar menawar.
Di sepanjang malam itu aku tak merasakan apapun, bahkan dingin yang menusuk. Aku melangkahkan kaki, begitu bimbang tak menentu arah. Banyak wajah kujumpai, tak satu pun dengan ekspresi, langit gelap, tak kulihat satu bintang pun dari ribuan yang ada, aku berhenti pada tikungan jalan yang sepi.
Bu, malam ini, Shira bermalam di luar, Ibu tak perlu cemas. Begitu pesan yang aku kirimkan pada Ibu, dan dengan seluruh keyakinan ia tidak akan mencurigaiku.
Tiba-tiba aku ingin menjumpaimu, menjumpai kekasihku yang setia dengan cinta dan harapannya, lantas aku membalikkan langkah sementara hujan mulai turun. Aku terus berlari menapaki sisa malamku yang keruh dan rindu.
Di pintunya aku mengetuk begitu hati-hati, seolah aku tak ingin seorang pun mendengar kehadiranku selain kekasihku. Wajahnya muncul, seperti yang lalu-lalu,teduh senyumnya mendekapku.
“ Zul, Bapak akan menikahkan aku dengan seseorang, seseorang dengan harapan dan masa depan yang baik,” perlahan aku menuturkannya. Di antara deras hujan dan angin yang menghempaskan reranting. Aku tak berani menatap matanya, seperti yang selalu aku lakukan saat berbicara, namun aku tak mendengar apapun, hanya deru nafasnya yang masih diburu.
“Zul, tidakkah engkau ingin melakukan apapun, saat kekasih yang engkau cintai dan begitu menjaga cintamu akan dinikahkan dengan laki-laki yang berbeda? Tidakkah engkau memegang kuat tangannya dan membawanya pergi sejauh-jauhnya menuju kebahagiaan yang sering kali dibisikkan saat mencumbu?”
Digenggamnya tanganku, matanya yang tajam begitu tenang seolah menentramkan jiwaku yang begitu letih.
“Shira, rebahkan seluruh kecemasan, letih dan kegalauamu itu pada takdir yang akan membawamu. Kau takkan sanggup untuk terus memikulnya, itu seolah olah terlalu dipaksakan. Saat ini aku ingin sekali menangis dan menyalahkan Tuhan. Apa yang sudah aku lakukan selama ini? perjuangan macam apa? Ha…ha… tapi aku yakin, Tuhan pasti hanya akan mengejek dan menertawakanku. Aku telah memikirkannya Sayang, memikirkan segala hal yang mungkin. Shira, Bapakmu benar, ia telah tawarkan matahari dalam genggamannya, selayaknya engkau bahagia dengan keutuhanmu sebagai bakti seorang anak. Melangkahlah dan tak perlu lagi menoleh. Kupikir kenangan ini akan pulang ke dalam albumnya sendiri dan menjadi hal yang tak begitu penting saat engkau melewati kehidupanmu yang berbeda.” Suaranya kudengar menjadi gemuruh dalam deras hujan dan malam yang pekat, tangannya semakin erat menggenggam, sementara jiwaku luruh menjadi serpihan-serpihan kecemasan yang panjang dan menusuk.
Aku tinggalkan kekasih hati, belahan jiwaku yang teduh. Menyeberangi malam dan derasnya hujan yang jadi begitu murung. Air mata yang tak henti menetes. Aku tak tahu kemana arah harus melangkah, betul-betul aku merasakan kehilangan, bukan hanya pada keperawanan yang telah aku persembahkan, bahkan bayanganku
sendiri, aku tak lagi mampu temukan.
(Elok Teja Suminar_)c