Halaman

Search

04 Maret 2010

TKW oh TKW : Saatnya Nurani yang Bicara

Sangat miris. Antara sedih dan geram kalau kita menyaksikan kehidupan sebagian saudara-saudara kita yang sedang mengadu nasib di negeri tetangga, Malaysia. Inilah potret buram sebagian tenaga kerja Indonesia yang sedang meraup ringgit di negeri Rasis itu!. Negeri Malingsia ibarat virus ! sering melecehkan saudara saudara kita yang bekerja disana., entah sudah berapa banyak pekerja yang diberlakukan semena mena, disiksa, tidak digaji. Bahkan pulang hanya tinggal nama.


Saya bukan pengamat sosial. Juga bukan penyelenggara survey. Tapi, saya ibu dari empat orang anak. Sudah dua tahun ini saya tinggal di Malaysia dan tinggal di sebuah apartement yang banyak disewa kilang (pabrik) untuk hostel (asrama untuk  pekerja) yang diambil dari luar negara Malaysia. Antara lain Indonesia, Bangladesh, Vietnam, dan lain-lain.


Saya menulis atas dorongan hati nurani dan keprihatinan sebagai seorang ibu ketika menyaksikan kuncup-kuncup yang belum begitu matang tapi harus dikarbit untuk segera matang dalam mengarungi hidup tanpa didampingi orang tua sebagai tenaga kerja wanita (TKW) dengan modal ala kadarnya.


Kenapa saya bilang ala kadarnya? Dari sebagian yang saya kenal dari para pekerja ini ada yang hanya modal ijazah SD, SMP, ataupun SMU. Umurnya pun berkisar antara 17 sampai 21 tahun. Memang ada juga yang sudah berumur atau yang berstatus istri yang bahkan rela meninggalkan anak yang baru dilahirkan demi memburu ringgit.


Harapan yang sangat besar. Bahwa dengan menjadi TKW pasti bisa mengumpulkan modal untuk usaha kelak ketika pulang ke Indonesia dan tentunya menjadi harapan dan kebanggaan orang tua. Orang tua mana sih yang nggak bangga melihat anaknya berhasil.

Tapi, harapan hanya menjadi sebuah asa yang sulit diraihnya ketika kakinya menginjakkan di Bumi Petronas ini. "Ternyata nggak seperti yang saya harapkan Mbak!" Itulah kata-kata yang sering saya dengar dari mulut-mulut polos mereka yang bergetar menahan tangis.

Dari RM 470,00 yang di janjkan mereka hanya terima sekitar RM 270,00 setelah dipotong pajak dan biaya lain yang ditetapkan oleh agen penyalur tenaga kerja. Padahal biaya standar untuk sekali makan RM 5. Bayangkan dengan RM 270 apakah bisa untuk menopang hidup selama satu bulan? 



Jangankan menabung. Untuk modal dan untuk hidup sehari-hari aja sulit. Ada juga yang dirumahkan karena kilang tempat mereka kerja tutup. Efek dari krisis keuangan global. Mereka hanya di beri RM 50,00/ bulan.

Jadi mereka banyak yang kerja sambilan di kedai makan atau sebagai pembantu rumah tangga. Itu pun kalau ketahuan sama agen penyalur tenaga kerja mereka dilarang kerja sampingan. Mereka hanya disuruh duduk diam di hostel. Belum lagi tentang pergaulan bebas yang menjadi pemandangan saya setiap hari. Bagaimana jika itu terjadi pada anak-anak kita?



Dari tulisan ini saya mengetuk hati nurani semua pihak yang berkepentingan. Terutama Pemerintah Indonesia, untuk segera ambil sikap.

Ingat. Jabatan yang ada di pundak anda adalah amanah. Jangan lupa mereka telah menyalurkan suaranya hingga anda duduk di tempat yang terhormat. Saatnya mereka menagih janji-janji anda. Lindungi hak-hak mereka sebelum habis keringat dan air mata mereka. 



By : Yuli WS