Halaman

Search

13 Maret 2010

Di Mana Sepi ?


Sekali lagi, aku ingatkan! Aku hanya ingin tahu apa itu sepi. Di mana sepi? Sejak lahir aku tak pernah mengetahui keberadaannya, bahkan ketika aku termenung sendiri. Bahkan masih ada dengung lirih di telingaku saat mereka pergi, yang menandakan bahwa sepi masih segan untuk menampakkan batang hidungnya di depanku. Aku pergi ke laut, ketemu debur. Aku panjati gunung tinggi, ketemu semilir. Aku jelajahi sahara, ketemu desir. Aku rebah di kasur, ketemu suara berisik. Dari mana berisik itu? Ternyata dari mataku. Mataku masih liar bergerak meraba-raba mencari cahaya atau sekedar fantasi. Kata orang, itu namanya kita sedang memasuki fase rapid eye movement, disingkat REM. Konon, itu sebuah fase sebelum kita memasuki fase tidur nyenyak.
Tuh, kan? Sepi itu tak ada. Aku tidur, ketemu REM. Suaranya berisik. Aku mulai nyenyak, malah ketemu mimpi. Terakhir aku mimpi, aku dikejar-kejar ibu kos karena belum membayar sewa kos selama satu bulan. Padahal, tunggakanku lebih banyak dua bulan dari itu. Lama-lama aku semakin sebal dengan mimpi itu. Suaranya berisik bikin aku terbangun, dan ceritanya pun seringkali garing dan tidak akurat. Herannya, masih ada saja buku “1001 Tafsir Mimpi” yang laku diberi orang! Lebih heran lagi, kenapa di pasaran tidak ada buku “1001 Cara Mencari Sepi”?
Kata orang, kalau ingin sepi, carilah lewat mati! Karena banyak sekali konsekuensinya, maka ide itu kuanggap tidak valid. Coba saja, andaikan benar, aku tak akan menyesal untuk mati karena bisa ketemu sepi. Namun sebaliknya, andaikan salah, justru ramai yang aku dapati setelah mati. Dan aku akan menyesal karena aku tahu, bahwa setelah aku mati, aku tak bisa hidup lagi. Kalau tak bisa hidup lagi, aku tak akan bisa mencari sepi kembali.
Akhirnya, aku memutuskan untuk mengadakan sayembara pencarian sepi. Pikirku, semakin banyak orang, semakin banyak ide untuk menemukan sepi. Kubuat selebaran dari kertas folio. Di situ kutulis:
SAYEMBARA PENCARIAN SEPI.
Barangsiapa dapat memberikan sepi kepada saya, akan mendapat apapun yang diinginkan. Tidak dipungut uang pendaftaran.
Hubungi saya di alamat: Jl. Berliku No. 587.
Pendaftaran ditutup tanggal 31 Juni 1900.

Selebaran itu kugandakan sebanyak mungkin, kutempel di tempat-tempat umum di seluruh penjuru kota. Di terminal, halte bus, taman kota, pusat perbelanjaan, masjid-masjid, sekolah-sekolah, bahkan di WC umum. Sebenarnya aku pesimis orang akan tertarik. Orang mungkin hanya akan menganggapku bercanda atau menganggapku kurang waras. Namun begitu kuatnya keinginanku untuk berjumpa dengan sepi, sehingga kulaksanakan niatku dengan bulat hati.
Dalam beberapa hari, sudah banyak orang berkerumun di depan tempat kosku. Kutaksir jumlahnya limapuluhan. Mereka mengajukan berbagai macam ide bagiku untuk menemukan sepi. Suasana menjadi gaduh, riuh oleh kerumunan orang.
Aku tak jadi menemukan sepi, karena justru keramaian yang aku dapat dari sayembara itu. Siapa dapat menemukan sepi, karena heningnya malam pun masih mengundang jangkrik dan tonggeret untuk berdengung. Siapa dapat memanggil sepi, karena sepilah yang ingin memanggil kita untuk mendatanginya. Ke manapun akan kudatangi sekiranya di sana ada sepi. Tapi di mana sepi itu? Sepi ingin memanggil, tapi tak dapat, karena panggilan adalah suara. Suara akan mengusir sepi, maka sepi pun tak dapat memberitahuku di mana ia berada. Sepi itu serba salah.
Aku mencoba bertanya kepada orang paling pendiam yang ada di bumi ini. Tanyaku, di mana sepi? Aku yakin, dia tahu di mana sepi itu berada karena dia adalah orang yang paling pendiam yang pernah ada di dunia. Jarang sekali dia membalas sapaan orang. Dia tak akan menjawab sebuah pertanyaan pun sekiranya pertanyaan itu tak penting baginya. Mungkin panggilan dari hatinya sendiri pun tak ia jawab. Aku semakin yakin, dialah orang yang tepat untuk menunjukkanku, di mana sepi itu.
Aku kembali bertanya, di mana sepi itu?
Ia tertawa.
Orang paling pendiam di dunia itu justru tertawa, berteriak-teriak, berkoar-koar bahwa ia pun telah putus asa dalam mencari sebuah sepi. Pertanyaanku justru mengubahnya dari orang yang paling pendiam menjadi orang paling berisik sedunia! Tawanya melengking, teriakannya membahana ke seluruh penjuru kota. Aku jadi sadar, orang mati pun akan melonjak jika kutanyai di mana sepi itu berada. Aku jadi bertanya-tanya, untuk apa manusia menciptakan kata sepi, jika mereka sendiri tak mengetahui apa dan di mana sebenarnya sepi itu. Sia-sia sekali rasanya, kata itu ada dalam daftar kosakata dalam bahasa apapun di seluruh dunia. Sebenarnya mudah sekali untuk menyelesaikannya. Tinggal menghapus kata sepi dari kamus-kamus dan daftar kosakata, maka bahasa tak akan menjadi mubazir karena terbebani oleh kata-kata hampa. Dengan demikian, kata sepi akan lenyap dari dunia ini.
Namun demikian, sepi telah menjadi obsesi terbesarku. Apapun yang terjadi tak akan menghentikanku untuk terus mencari sepi. Percuma saja menghapus kata sepi, karena kata itu telanjur terdengar oleh gendang telingaku. Aku harus terus berusaha mencari sepi meski harus membayar berapa pun!
Aku mulai dekat dengan putus asa.
Akhirnya, aku mencoba usahaku yang terakhir: bertanya pada penyair.
Konon, para penyair sangat akrab bercumbu dengan sepi. Di setiap bait yang mereka tuliskan, mereka banyak sekali menyinggung tentang sepi. Katanya, ada penyair yang pernah menemui kamarnya yang sepi meruang ditinggalkan oleh perempuannya. Itu kali tak ada yang mencari cinta, katanya.
Ini usahaku yang terakhir, aku tak boleh gagal.
Aku mulai berkata-kata, bertanya pada penyair itu.
- Mas, mas, katanya anda pernah bertemu sepi. Boleh saya tahu, di mana sepi itu?
Sudah bisa ditebak. Sepi itu tak bisa kudapat, karena berisik datang dari mulutnya yang mulai bersyair. Suaranya lantang, tak sepadan dengan badannya yang kurus kering karena terus-terusan mengepulkan asap tembakau. Itu terakhir kalinya aku mendengarnya bersyair. Kabarnya, ia mati tak lama kemudian. Mati muda.
Putus asa datang padaku.
Aku tak tahu lagi bagaimana caraku menemukan sepi. Rupanya sepi tak pernah mau kutemui. Usahaku yang terakhir memang tak membuahkan hasil. Katanya, setelah lelah berusaha, kita harus berdoa, memohon pada Tuhan. Aku tak berdoa, aku tak tahu caranya. Yang aku bisa hanya berandai-andai.
Andaikan aku bisa bertemu sepi.
Andaikan sepi.
Andaikan…
Eureka!
Ternyata sepi ada di sana! Ia bersembunyi dalam pengandaian. Akhirnya aku menemukannya, setelah menghabiskan berbagai cara, mengadakan sayembara, bertanya pada pendiam, pada penyair, akhirnya aku menemukannya setelah aku putus asa…