Halaman

Search

22 Februari 2010

Jalan Simpang Facebook dan Kawin Sirri

Hari-hari ini, Facebook dan kawin sirri mengisi isu terpanas kita. Keduanya berbeda, tetapi memiliki hakekat sama. Keduanya memberi kita kemudahan, tetapi banyak orang yang menyalahgunakannya. Keduanya tiba-tiba seperti nasib sebuah pisau. Di tangan dokter, ia bisa menjadi alat operasi, tapi di tangan penjahat, ia menjadi senjata yang mengancam maut.


      Entah sudah menjadi kodrat manusia selalu saja ingin terjatuh ke lubang sasar. Contoh utama adalah soal fasilitas teknologi canggih, seperti internet dan peralatan digital. Alat-alat ini didesain untuk mempermudah dan memanjakan hidup manusia. Tetapi apa lacur, banyak dari anak-anak negeri kita yang menyalahgunakannya. Banyak orang memanfaatkan facebook untuk mencaci, mengancam, bahkan menjerat/menipu orang lain untuk diambil keuntungannya. Hal senada juga dengan teknologi canggih. Banyak orang yang merekam aib mereka lalu dipertontonkan ke publik. Benarkah mental kita belum siap untuk menjadi manusia berteknologi mutakhir? Sungguhkah kita ini sebenarnya masih bermental udik?



      Imbasnya pun pemerintah berencana turun tangan. Jika di Cina, diberlakukan hukuman berat bagi operator situr porno dan orang yang melaporkannya dapat hadiah besar, belum diketahui bagaimana kebijakan pemerintah kali ini. Yang jelas, banyak pihak menentangnya, karena ini mengingatkan pada zaman Orde Baru lalu. Segalanya disensor. Lalu adakah jalan terbaik untuk melindungi moral bangsa? Tentu saja ada. Dan tentu saja kita tidak bisa menolak kehadiran teknologi canggih itu di tengah-tengah kita. Semua harus terlibat dalam masalah ini, termasuk orang-orang tua di rumah untuk mendampingi anak-anaknya. Orang tua juga harus melek internet, bahkan harus berfesbuk-ria dengan sang anak.


      Isu kedua adalah soal nikah siri. Sebenarnya istilah ini salah kaprah. Nikah ya nikah, tak perlu ada rahasia. Namun, karena manusia memang berotak brilian untuk soal strategi menyiasati aturan, bahkan aturan Tuhan sekalipun, akhirnya muncul istilah nikah siri. Lacurnya, istilah yang digunakan untuk mempermudah jalan menikah bagi mereka yang takut mengeluarkan biaya banyak dan pesta ini, pun disalahgunakan. Akibatnya, kaum hawa dan anak-anak yang dihasilkan dari nikah ini tak berstatus hukum.


      Tak heran, pemerintah pun berencana melarang nikah siri. Banyak yang menolak, banyak pula yang menduga. Rencana pemerintah yang tertuang dalam RUU Peradilan Agama ini didukung oleh Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD. "Di Indonesia dilarang oleh UU untuk menjaga akibat buruk korban-korbannya. Menurut saya pelarangan itu tidak melanggar agama," kata Mahfud. "Saya setuju karena soal pernikahan fiqih dan fiqih adalah buatan manusia berdasarkan waktu dan tempatnya," imbuhnya.


      Menurut Mahfud, praktek nikah siri selama ini kebanyakan dijadikan para lelaki untuk melampiaskan hasrat seksual belaka. "Saya sangat setuju kalau pelaku pernikahan siri dipidana. Anak-anak terlantar, istri pertama tidak diakui. Istri hanya dijadikan pemuasan seksual," lanjut Mahfud.


      Ratna Sarumpaet, seniman dan pejuang hak asasi perempuan juga angkat bicara. Ratna Sarumpaet Dukung RUU Nikah Siri. Ia mendukung RUU tentang peradilan agama bidang perkawinan yang mengatur sanksi bagi nikah siri. Alasannya, demi melindungi hak perempuan dan anak. Ratna mendukung karena undang-undang tersebut memang harus dibuat untuk melindungi hak-hak perempuan dan anak-anak. "Banyak permasalahan yang ditimbulkan dalam perkawinan siri, salah satunya tidak jelasnya hak dan status perempuan baik dalam status perkawinan, HAM hidup dan waris," katanya.



      Dengan tegas menkum HAM Patrialis menjelaskan, atur nikah siri tak berarti negara campuri masalah agama.  Pernikahan diatur agar kehidupan masyarakat tidak kacau. "Kalau kehidupan bermasyarakat tidak diatur, masyarakat bisa kacau. Ya kalau mencampuri kehidupan beragama misalnya orang mengaji harus mengaji dari jam sekian sampai sekian, itu baru namanya ikut campur," katanya.


      Tulisan ini tak hendak memihak, tetapi mengembalikan pada fitrah kita masing-masing. Hal itu karena semuanya kembali kepada diri dan kesadaran kita masing-masing. Seyogyanya kita bisa adil, proporsional dan tidak mudah menyalahgunakan kemudahan untuk hal-hal yang menuruti nafsu dan kesenangan semata, yang merugikan pihak lain. Bukankah sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain?

Salam Redaksi Tabloid Memorandum-Surabaya # 136