Halaman

Search

21 Januari 2010

Rukhiah : Si Kembang Liar !



Dia adalah perempuan yang lahir sebagai haram jadah. Sundal. Perempuan yang membrojol ke dunia karena perbuatan bejad dua orang manusia di sebuah malam gelap. Di tengah dingin malam membekukan detak nadi. Di mana hanya ada semak, rumpun perdu dan pohon randu yang berjejalan di ujung desa. Ibunya, Sulistini, dengan syahwat perempuan muda umur belasan, menyerahkan “berlian” satu-satunya kepada Rohman, seorang begundal desa. Dan pergumulan mereka berulangkali terjadi. Berulangkali terlecut pada tempat yang sama. Pada cambuk yang sama; syahwat.

Sulistini akhirnya mengandung perempuan itu dengan susah payah. Diusir dari desa oleh orangtuanya, juga oleh Rohman, yang pura-pura menganggap Sulistini sebagai perempuan nista. Rohman tidak ingin harga dirinya hancur karena telah menghamili seorang perempuan miskin. Perempuan yang sehari-harinya menjadi bakul jamu keliling desa dengan senyum sumringah menantang. Tampak merangsang meskipun umurnya belasan. Sebenarnya, meskipun seorang begundal, Rohman tetaplah anak kepala desa yang terhormat.

Perempuan itu terlahir sembilan bulan kemudian dengan bantuan dukun kampung. Terlahir di sebuah gerbong kosong tempat para cabau kan, pelacur, kupu-kupu malam atau entah apalah namanya, berkumpul mencari mangsa. Sekaligus menghabiskan hari-hari mereka yang penuh tawa, tapi menggumpalkan kesedihan hidup serupa bisul yang tidak akan pernah pecah.
Perempuan itu adalah si kembang liar. Rukhiah namanya. Perempuan yang sebenarnya tidak ingin dilahirkan sebagai seorang haram jadah. Perempuan yang sangat membenci hidup dan lelaki. Karena belakangan dia tahu bahwa dia lahir dari dua nafsu yang tidak dikekalkan akad nikah. Karena belakangan dia tahu Rohman itu seorang lelaki yang hanya mau enaknya saja. Ketika Sutini masih ranum seperti buah apel merah, Rohman laksana Arjuna yang penuh tanggungjawab mengebul-ngebulkan cintanya. Tapi selepas perut Sutini membengkak dan menjadi aib desa, Rohman tiba-tiba berubah serupa Rahwana. Dia berlagak suci ikut-ikutan mengusir Sutini. Pandai berbedak, padahal wajahnya bopeng. Pandai berminyak, meskipun kepalanya botak. Brengsek!
Rukhiah pun menyimpan kesumat di balik dadanya yang mungil. Berkali-kali sepulang bermain bersama teman-temannya di sepanjang rel kereta api, Rukhiah merajuk di ketiak ibunya.
“Bu, aku ingin bekerja seperti ibu,” katanya sambil mempermainkan anak rambut Sutini.
“Menjadi penari maksudmu?” Sutini tersenyum. Dia menghapus sisa bedak di wajahnya dengan air pembersih murahan. Kelihatan benar dia semakin dan bertambah tua. Ada kerut-kerut membentuk tegas di kantung matanya. Tapi tetap saja sisa-sisa kecantikan masa mudanya membias. Terus terang, selain menjadi pelacur, Sutini merangkap penari yang sering ditanggap orang pada acara pesta hura-hura. Istilah kerennya striptease. Tapi bukan seperti yang di barat-barat sana, penarinya benar-benar telanjang. Melainkan Sutini hanya melenggak-lenggok liar dengan pakaian mengundang selera para tikus got.
“Bukan, Bu! Aku ingin menjadi pelacur!” Bibirnya bergetar, seiring tamparan Sutini hinggap di pipinya yang merah.
“Tidak akan kuijinkan kau mengikuti jejakku, Rukhiah! Juga tidak sebagai penari! Kau harus sekolah dan tumbuh besar menjadi perempuan yang kuat. Menjadi pejabat, gubernur, presiden. Bukankah sekarang sudah ada presiden perempuan?”
Rukhiah menangis. Tamparan Sutini terasa menggelinjing di seluruh syaraf pipinya. “Sekolah? Ibu mimpi! Aku tidak mungkin sekolah lagi. Aku sudah tigabelas tahun. Masaku bekerja, bukan sekolah! Dan aku akan menjadi pelacur seperti ibu. Berjaja ke desa-desa mencari Rohman yang telah menistakan ibu.”
“Rukhiah!” bentak Sutini geram. Tapi anak perempuannya yang kini telah berhasil mengeluarkan bisa dari mulutnya, telah berlari jauh. Tidak akan kembali! Tidak akan kembali!
Dan benar saja, sebulan lamanya Rukhiah tidak pulang-pulang. Sutini pun berhenti melacur, berhenti menari. Kerjanya hanya meratap tanpa mau makan. Ketika dia berusaha mencari Rukhiah dengan bantuan teman-temannya, tetap saja hasilnya nihil. Karena itu dia akhirnya sakit-sakitan dan meninggal dunia tiga bulan kemudian.
***

Siapa dapat menduga Rukhiah akhirnya menjadi pelacur kondang yang sering menyatroni desa demi desa. Keharuman nama, sekaligus pelayanannya, membuat lelaki-lelaki hidung belang menggelinjing seperti belatung. Termasuk Rohman!
Lelaki yang mewarisi tahta orangtuanya sebagai kepala desa itu, tanpa merasa malu mendatangi tempat Rukhiah bergelut. Padahal dia sudah beristri lima. Semuanya cantik dan bahenol. Tapi Rohman yang begundal tetap saja begundal. Jabatan kepala desa yang diembannya hanyalah faktor nepotisme belaka, bukan karena kesatriaan. Sebab baginya kesatriaan hanyalah bunga-bunga kisah. Penguasa tetap saja korup, pendusta dan penggatal.
Bagi Rukhiah kedatangan Rohman bukan saja sebuah keberuntungan. Tapi mukjizat! Bagaimana mungkin setelah melacur hampir tiga tahun, akhirnya orang yang ditunggu-tunggunya datang tanpa diundang. Meskipun lelaki itu sangat tidak mengundang selera, Rukhiah tetap memperlakukannya sebagai raja. Pelacur memang harus bisa bersikap demikian. Pelacur harus lebih sering bersandiwara apabila ingin mendapatkan penghasilan tetap dan berlebih.
“Apa yang orang katakan tentang dirimu memang benar, Rukhiah! Kau cantik, menawan dan mengundang selera. Tapi wajahmu itu sekarang sangat membuatku risih. Aku merasa kita sudah pernah bertemu. Telah pernah bergaul begitu rapat. Begitu erat. Tapi di mana dan kapan waktunya?” Rohman terbaring di atas bale-bale kayu sambil menatap wajah ranum Rukhiah.
“Barangkali dalam mimpi., Mas?”
“Tidak! Ini terjadi di dunia nyata! Tapi kapan dan dimana aku berjumpa dengan paras sepertimu?”
“Bukankah anda kemari ingin mendapatkan pelayananku, Mas? Kenapa harus memikirkan yang bukan-bukan?” Rukhiah tersenyum menggoda. Dari lirikan matanya yang tajam, memancar dendam kesumat yang sebentar lagi akan terpuas.
Rohman tertawa. Dia merangkul manja Rukhiah. Tapi belum sempat dia menikmati jemari lentik perempuan malam itu, tiba-tiba ujung belati telah menusuk dalam di dada kirinya. Menusuk menembus jantung. Dan dia terkapar mati.
Besok harinya Rohman ditemukan seorang hansip di sebuah selokan dengan kondisi tubuh menggelembung. Berita kematiannya menggemparkan. Kematiannya yang tragis dikait-kaitkan dengan Rukhiah, sang pelacur. Namun perempuan itu telah menghilang laksana ditelan bumi. Meskipun berulangkali dilacak oleh pihak yang berwajib, jejaknya tetap tidak ditemukan.
***
Di sebuah lobi hotel, pada pukul sembilan pagi, seorang perempuan bergaun mahal tengah menunggu seseorang. Dia berulangkali melihat ke luar, berjalan hilir-mudik dan duduk kembali dengan wajah berkeringat. Wajahnya yang tersaput bedak tidak dapat menyembunyikan kondisinya yang lelah.. Seperti kondisi pengelana yang mengarungi gurun tanpa membawa setetes air.

Begitu terdengar suara beberapa detak sepatu seirama yang menyentuh ubin hotel, cuping hidung perempuan itu langsung bergerak-gerak. Dia berdiri, melepas kacamata hitam dan membetulkan letak gaunnya.
“Nona Rukhiah!” sapa seorang lelaki berpakaian perlente dengan senyuman khas.
“Bapak Menteri!” Perempuan itu tertawa dibuat-buat.
“Mari!”
“Ok!”
Kembang liar itu tetap menjadi kembang liar. Perempuan yang menjadi panorama negeri yang sedang berkembang ini. Seperti perempuan-perempuan lain yang kerap menjajakan hasrat di bawah lampu merkuri, pepohonan dan di tengah semak. Ini sebuah realita atau hanya sebuah cerita?

(Rifannazhif)