Halaman

Search

15 Januari 2010

Lika Liku BMI Macau !




Pungutan biaya penempatan dan underpay bukanlah satu-satunya persoalan yang dihadapi para buruh migran Indonesia (BMI) di Hongkong ini. Sebagian dari mereka juga mengalami PHK atau putus kontrak 'terminate' sebelum kontrak kerja dua tahun usai. Penyebab putus kontrak itu dapat bermacam-macam, baik yang datang dari sisi majikan maupun dari sisi pembantu sendiri.

Namun imbasnya terhadap mereka yang diputus kontraknya tetaplah sama, yaitu mereka harus segera mengemasi barang-barang mereka dan dalam jangka waktu dua pekan harus meninggalkan Hongkong, kecuali apabila mereka memiliki alasan kuat untuk tetap tinggal, yaitu menunggu kasus di pengadilan.
Two Week Rule
Two week rule atau Peraturan Dua Minggu adalah peraturan pemerintah Hongkong yang sangat tidak populer di kalangan buruh migran dan diksriminatif. Demikian dikatakan Direktur Mission for Migrant Workers, Cynthia Ca Abdon-Tellez, yang melakukan advokasi bagi hak-hak pembantu Filipina di Hongkong.

'Peraturan ini juga menjadi ancaman bagi pekerja migran. Ini hanya berlaku bagi pembantu asing. Mereka terancam dengan peraturan ini karena apabila kontrak mereka diakhiri sebelum selesai, maka mereka tidak mendapatkan apa-apa. Mereka harus berkemas dan dalam dua minggu harus pergi'

Emily Lau, anggota dewan legislatif Hongkong, menanggapi bahwa peraturan diskriminatif ini sudah lama ada, dan dia bersama dengan sejumlah anggota legislatif lainnya tak henti-hentinya membawa masalah ini kepada pemerintah, tapi sejauh ini pemerintah Hongkong tidak mau menyerah.

Menghindar ke Macau

Akibat peraturan 2 week rule ini, banyak dari mereka yang putus kontrak sebelum waktunya tapi masih ingin bekerja dan tidak mau pulang ke Indonesia berupaya menghindar dari peraturan dengan lari ke Macau.

'Di Macau saat ini banyak buruh migran yang overstay. Mereka kebanyakan  adalah buangan dari Hongkong'. Demikian dikatakan Eni Lestari, Ketua Asosiasi Tenaga Kerja Indonesia di Hongkong.

Menurut perkiraan di Macau saat ini terdapat 6.000 pembantu Indonesia dan sebagian dari mereka overstay alias ilegal.

Perlu Kantor Perwakilan KJRI di Macau

Bagi buruh migran yang berada di Macau, persoalan yang dihadapi mereka bertambah panjang karena pemerintah tidak memiliki kantor di sana. Sebelum ini Konsulat Jendral RI di Hong Kong pernah mengeluarkan kebijakan pembuatan paspor satu hari bagi BMI di Macau. Tetapi tanpa alasan jelas, kebijakan itu dicabut. Akibatnya, BMI di Macau terpaksa harus menunggu selama dua minggu untuk mendapatkan paspor baru dan  harus mengeluarkan biaya ekstra untuk perjalanan mereka ke Hongkong.

Tidak saja dari segi biaya tapi juga dari segi waktu sangat merepotkan karena untuk mengurus paspor ke Hongkong, mereka paling tidak harus minta ijin dua hari dari majikan.  'Terkadang majikan tidak mau tahu. Mereka minta kita untuk menggunakan jasa agen, tapi untuk itu kita harus bayar dua sampai tiga kali lipat', demikian kata Shanti, seorang BMI di Macau.

Atas desakan para BMI di Macau, pemerintah menyatakan berencana membuka kantor di Macau untuk memudahkan para buruh migran di sana mengurus dokumen atau surat-surat perjalanan lainnya sehingga mereka tidak perlu lagi mengurusnya ke Hongkong. Namun Konsul Ketenagaakerjaan Sri Setiawati belum dapat memastikan jenis layanan apa saja yang bisa diberikan oleh kantor di Macau nantinya dan kapan hal itu akan terlaksana.

KJRI Ujung Tombak Perlindungan

Begitu banyak persoalan yang dihadapi para buruh migran ini, padahal yang mereka inginkan hanyalah satu: bekerja dan menyelesaikan kontrak. Mungkin saja berbagai rintangan yang dihadapi para pembantu Indonesia di Hongkong akan terasa lebih ringan apabila pihak-pihak yang memang seharusnya mengayomi dan melindungi mereka melakukan tugas dengan sebaik-baiknya, memberikan pelayanan semaksimal mungkin serta menunjukkan rasa simpati dan keramahtamahan. KJRI adalah ujung tombak perlindungan bagi buruh migran Indonesia di sana.

(BMI Macau)

(rnw)