Halaman

Search

20 November 2009

Martini Pulang Pagi

Begitu mendekati mulut lorong yang menuju ke rumah kontrakannya, Martini bilang kepada Mamang, tukang ojek langganannya, ?Stop di sini saja, Mang !? ?Lho, kok tidak sampai ke depan rumah, mBak ?? tanya Mamang.

?Gila kamu ! Lihat,dong,pukul berapa sekarang ! Suara motormu yang berisik kayak lampor ini akan mengganggu tidur orang-orang, tahu ?!? Bisa-bisa kamu nanti dikeroyok orang sekampung !? ?Ah, mBak bisa aja !? kata Mamang, sambil mengerem motornya rada mendadak, menyebabkan Martini terdorong keras ke depan,hingga dia terpaksa merangkul tubuh si tukang ojek yang dibalut jaket tebal itu, agar tidak terpelanting dari boncengan motor. ?Hey, hati-hati kamu, Mang ! Jangan cari kesempatan dalam kesempitan, ya?!?? kata Martini sewot, sambil menepuk bahu Mamang keras-keras.



?Kan yang sempit-sempit itu justru yang katanya asyik, mBak !? sahut Mamang cengengesan. ?Sialan kamu ! Dasar tukang ojek sinting !? Sudah dekat pukul empat dinihari, ketika Martini mulai menapaki lorong yang menuju rumah kontrakannya itu, duaratus meter di ujung sana. Neonneon duapuluh watt mene-rangi lorong itu,membuatnya nampak terang benderang. Tetapi alangkah sepi di sekeli-ling, sehingga suara sepatu Martini terdengar jelas berketepok ketika menyentuh betonan lorong.

Orang-orang pun jelas masih lelap dalam tidurnya masing-masing, dibuai oleh hawa sejuk dinihari. Hanya di warteg Mas Karyo mulai nampak adanya geliat kesibukan. Sementara dari mushalla atau mesjid entah di mana, terdengar lantunan zikir, diselingi kata-kata peringatan, bahwa shalat itu lebih baik dari tidur. Sertamerta Martini merasa, betapa lelah dan mengantuknya dia. Perasaan yang tadi-tadi berhasil dibendung dan diatasinya, karena tentunya bukan sikap yang bertang-gung jawab dari seorang professional,kalau sampai nampak lelah dan mengantuk di hadapan pelanggan yang harus dilayaninya.

Apalagi kalau pelanggan itu adalah seseorang yang istimewa, seperti halnya Pak Dewanto itu.Dan dengan begitu saja,sebuah senyum samar-samar muncul di bibir Martini. Dia tepuk tas yang tergantung di bahunya.Serasa-rasa dapat disentuhnya uang sejuta rupiah yang ada di dalam tas itu. Duaratus limapuluh ribu adalah imbalan jasa ?pelayanannya?, sementara sisanya adalah pinjaman yang dia dapat dari Pak Dewanto. Dia memang sangat memerlukan uang itu.

Bermula pada sore hari tadi. Ketika dia siap berangkat ke bar tempatnya biasa ?mangkal?,Wiwik, puteri tunggalnya, bilang dengan suara seperti merajuk, ?Ma,Wiwik kan sudah harus bayar biaya study tour yang ke Borobudur itu. Temen-temen nyang laen sudah pada bayar semua.Wiwik kapan, Ma ? Jangan-jangan nanti telat, Ma.Wiwik jadinya tidak bisa ikut,dong ! Kalau gitu,gimana,Ma ! Wiwik kan jadi malu.? Sempat tertegun juga dia.Soalnya,dia memang belum dapat memperkirakan, kapankah kebutuhan Wiwik itu dapat dipenuhinya.

Uang enamratus ribu bukanlah jumlah yang kecil buat dia. Secara matematis,itu berarti ? paling sedikit ? dua kali kencan,dua kali memberi ?pelayanan? kepada pelanggan.Tetapi,betapa pun juga,dia amat menyayangi Wiwik. Puterinya yang sedang duduk di kelas dua SMA itu adalah satu-satunya miliknya yang paling berharga dalam hidupnya ini. Dia selalu siap melakukan apa saja demi anaknya itu.Apa pun rela dia korbankan. Tuntas dan habis-habisan.

Dan itu sudah dia lakukan sejak dia mengandung Wiwik, akibat ?kecelakaan? dengan seorang temannya di kelas tiga SMA.Temannya itu tak keburu dimintai pertanggunganjawab, karena segera dikirim ke Australia oleh orang tuanya. Sampai kemudian Wiwik lahir dan langsung harus dihidupinya secara mandiri, karena dia tak lagi diakui sebagai anak oleh orang tuanya dan dikucilkan oleh keluarga besarnya. Bukan kepalang beratnya perjuangan yang harus dia hadapi.

Dan dia tidak bisa memilih-milih. Apalah yang tidak dilakukannya, demi Wiwik. Seperti halnya sekarang ini,ketika dia mendamparkan diri ke lingkungan kehidupan bar,menjadi wanita penghibur. ?Jangan pesimis begitu, dong, Sayang ! Mama akan usahakan,ya ? Malam ini juga. Mudah-mudahan berhasil. Dan besok kamu sudah bisa bayar biaya study tour kamu itu. Okay ?? begitu dia bilang sore tadi. Dan pada saat itu juga, segera terbayang di mata batinnya wajah Pak Dewanto. Sudah dua tahun ini dia mengenal laki-laki itu dan berhasil menjadikannya sebagai pelanggan tetap.Dan itu sangat berarti bagi ketegakan ekonomi rumahtangganya.

Pak Dewanto itu seorang pengusaha biro perjalanan ? termasuk menyelenggarakan perjalanan haji dan umrah ? yang sukses dan tidak terlalu panjang pertimbangan terhadap uang yang dikeluarkannya.Usianya pasti sudah lewat setengah abad, tetapi penampilannya masih tetap gagah dan menawan, sangat macho. Dan potensinya sebagai laki-laki,masih jauh di atas kebanyakan laki-laki yang pernah ditemui Martini. Perlakuan Pak Dewanto terhadap dirinya pun sangat berbeda.

Kalau para pelanggannya yang lain cuma menganggap dirinya semata-mata sebagai obyek pelampiasan libido belaka, tidak demikian halnya dengan Pak Dewanto. Perlakuannya begitu lembut, begitu santun.Kadangkala bahkan bagai perlakuan seorang laki-laki terhadap kekasihnya. Mungkin karena, ?Kamu selalu mengingatkan aku pada kekasihku yang pertama,Tin. Kamu hampir-hampir bagai kembaran dari dirinya. Bibirmu yang sensual, matamu yang liar menantang, profil wajahmu yang nJawani, sungguh,semua merupakan bagian dari dirinya.

Kamu tahu,setiap aku menikmati kebersamaan denganmu, aku selalu merasa berada lagi pada masa laluku. Sayang, semuanya harus berakhir dalam kenyataan yang pahit.Keluarganya tidak merestui, dengan alasan yang sampai sekarang pun tak pernah kuketahui. Hubungan kami diputuskan dengan paksa. Dia dikawinkan dengan orang lain, walau dalam rahimnya sudah kusemaikan bibitku.Rencana kami,ini akan kami jadikan senjata untuk melakukan fait accompli.Ternyata gagal. Semua berantakan. Dan diakhiri dengan tragedi. Belum seminggu usia kawin paksa itu, mayat kekasihku itu ditemukan mengambang di kali.

? Pernah sekali waktu Martini membiarkan dirinya berangan-angan, bagaimana kalau tiba-tiba Pak Dewanto mengajaknya kawin. Serasa-rasa dia mendengar laki-laki itu berkata, ?Aku selalu merasa kesepian,Tin.Empat anakku sudah mandiri, sudah membina rumahtangga dengan keluarganya masing-masing. Hanya aku dan isteriku yang tinggal di rumah sebesar itu. Dan kamu tahu, isteriku sudah tua, sudah lama dia memasuki masa menopause. Lebih dari itu, tubuhnya kemayuh, karena pernah mendapat serangan stroke.Bagiku, sebagai laki-laki,isteriku itu sebetulnya sudah tidak punya guna lagi.

Aku masih membutuhkan perempuan yang potensial, yang masih segar, yang masih menggebu-gebu. Seperti kamu. Karena itu,maukah kamu kawin denganku ? Tolonglah, Tin, bebaskan aku dari siksaan kesepian lahir batin ini.? Namun Martini akhirnya hanya bisa menertawakan dirinya sendiri secara habis-habisan karena angan-angannya itu.Walau memang benar isteri Pak Dewanto sudah tua dan lumpuh dan anakanaknya sudah mandiri semua,tetapi jelas dia belum cukup gila untuk meminta Martini kawin dengannya.

Kedudukan sosial Pak Dewanto yang begitu tinggi dan terhormat di kalangan masyarakat luas, pasti akan tercemar habis-habisan, kalau dia sampai nekat mengawini perempuan semacam Martini, seorang perempuan sewaan di bar, yang hidup dari pelukan lelaki yang satu ke pelukan lelaki yang lain. Martini sudah merasa cukup memadai, karena hubungannya dengan Pak Dewanto makin bersifat pribadi.Tidak sekadar hubungan antara seorang pelanggan dengan lang-ganannya semata. Banyak masaalah yang dihadapinya, terutama yang berkenaan dengan masalah keuangan, dapat terpecahkan atau terselesaikan,berkat uluran tangan Pak Dewanto.

Seperti halnya biaya study tour Wiwik itu.Dengan terus terang,dia kemukakan soal itu kepada Pak Dewanto, terutama kemungkinan gagalnya Wiwik ikut serta, kalau tidak segera membayar. Laki-laki paroh baya itu hanya menganggukangguk, tanda maklum. Lalu diasongkannya uang yang tujuhratus limapuluh ribu itu, sambil bilang, ?Pakailah ini !?. Tak disebut-sebutnya samasekali, kapan uang itu harus dikembalikan. Tak terpermanai besarnya rasa syukur Martini.

Sampai-sampai dia mengumbar rasa, malam ini Tuhan rupanya sedang berkenan melimpahkan Rahman dan RahimNya kepada seorang makhluk pendosa semacam dirinya ini. Sambil melangkah terus di lorong berbeton itu, berkali-kali Martini menyentuh tasnya. Seperti kurang yakin dia,kalau tas itu masih tetap tersandang di bahunya.Dia bayangkan,betapa akan senangnya Wiwik nanti. Puterinya itu tak perlu lagi mencemaskan kegagalan perjalanannya bersama teman-temannya yang lain. Tetapi tiba-tiba Martini terperangah.

Di depan rumah kontrakannya,dia melihat kerumunan orang. Seketika itu juga dia mempercepat langkah, malah setengah berlari. ?Ada apa ini ?!? Ada apa ?!??serunya panik,seraya berusaha menembus kerumunan itu. Orang-orang memang memberinya jalan, hingga dia segera dapat memasuki rumahnya.Dan di ruang tamu,dia tertegun panjang. Di situ sudah ada Ketua RT,Ketua Mushalla dan beberapa orang Hansip. Dan di sofa itu, ya, Tuhan, duduklah Wiwik. Anak itu hanya berpakaian sekenanya, sekadar menutupi tubuh. Dan di sisinya, cuma berpakai-an dalam, duduklah Tony, kakak kelas Wiwik. Tentang Tony ini,Wiwik pernah bilang,

?Dia anak orang yang kaya sekali, Ma. Mobilnya saja ada enam, bererot di garasinya yang jauh lebih gede dari rumah kita ini.? Nanar Martini menatapi orang-orang yang hadir di ruang tamunya itu. Ketua RT membalas tatapannya dengan pandangan mengandung rasa kasihan. Ketua Mushalla, yang selama ini memang tak pernah merasa perlu mengenalnya, tersenyum miring. Dan para Hansip itu, jelas mereka nampak salah tingkah (Martini memang sering sekali beri tip kepada mereka, kalau kebetulan kepergok saat dia pulang ?tugas?).

?Bu Martini dapat membayangkan sendiri, apa yang kira-kira sudah terjadi malam ini,bukan ??terdengar suara Ketua RT, tidak dengan tekanan darah, tetapi kecewa. ?Dan ini merupakan akumulasi dari banyak kejadian sebelumnya. Sebegitu jauh, warga sebetulnya mencoba tidak usil. Kami menganggap,Wiwik sematamata korban dari contoh yang tidak baik. Tidak adil kalau dia saja yang harus menerima akibatnya.Selama tidak melewati batas, kami hanya membiarkan.Tetapi, malam ini,mereka sudah melakukan sesuatu yang keterlaluan.

Dan itu tidak bisa didiamkan lagi. Mereka harus ditindak. Dan seperti inilah jadinya.? Martini menatap Wiwik dengan pandangan kosong. Anak itu bangkit dari duduk-nya, lalu menubruk diri Martini dan memeluknya erat-erat. Terdengar suara tangisnya yang lirih, tetapi sarat dengan tekanan duka. Galau yang dahsyat berbuncah-buncah dalam kalbu Martini.Perlahan-lahan dia kehilangan penguasaan atas dirinya. Perlahanlahan pula tubuhnya merosot ke lantai.***

By : Joenoes Joesoef
Dimuat di Seputar Indonesia