Halaman

Search

19 Februari 2010

Lelaki Beraroma Senja !


Januari lalu, ketika long weekend, saya menyempatkan diri ke Banyumas, Jatilawang. Tak ada misi berarti, hanya butuh penyegaran, dan mungkin sedikit kepastian untuk masa depan. Bersama Arini, saya berkemas seadanya dan berangkat menuju kota tempat Landung tinggal. Landung, iya, Landung yang itu. Lelaki beraroma senja itu. Benar sekali.
Delapan jam di atas bis, akhirnya pada jam berikutnya kami sampai di kota tujuan, tepatnya pada pukul 17.00. Turun tepat di mulut gang rumah Landung. Tak ada hambatan berarti di perjalanan kali ini. Hanya hujan yang menderas ketika kami baru sampai di tempat persinggahan bis terakhir–sebuah kota yang saya lupa namanya. Hingga ketika turun di Jatilawang, tanah sudah basah dan air menggenang di mana-mana. Perut lapar pula karena asam sudah menggerus lambung sejak siang tadi. Untuk mereduksi kerepotan Bude (ibunda Landung), kami memutuskan untuk makan dulu–makan malam dan makan siang sekaligus–di Warung Lesehan Banyumas di tepi jalan dekat gang Landung. Menunya ayam bakar. Tapi, entah kenapa, ayam bakar itu jadi terasa tak enak di mulut saya. Asam lambung memang sudah mencekik. Tapi, mulut terasa pahit. Hanya untuk mencegah maag merajalela, saya mendesak bulir-bulir nasi beserta ayamnya (yang sebenarnya enak) ke tenggorokan. Seperti sudah bisa ditebak, makan saya tak habis. Sisanya? Ya, Arini-lah yang menghabiskan. Sebab, sepertinya, santap-santap kali itu, dia terlihat kalap. Haha…
Selang berapa lama, tak terasa gelap sudah datang. Sudah saatnya beranjak. Dan, kami pun naik becak menuju rumahnya. Deg-deg-deg. Pahitnya mulut masih terasa. Diri semakin memburuk karena ditambah perasaan berdebar yang bergelayut sejak dari Jakarta. Saya hanya bisa tersenyum kecut ke Arin, yang sepertinya mengerti kegelisahan ini. Tampaklah rumah kecil di sudut itu. Terlihat dingin, dan sepi.
Ketukan pertama, tak ada yang menyahut. Hingga ketukan keempat, Bude muncul dengan wajah sumringah diikuti si Mbak yang terlihat menggemuk. Luarnya saja yang dingin, di dalam sini hangat sekali, pikirku. Deg-deg-deg. Landung tak terlihat batang hidungnya. Bude ramai bercerita, tentang apa pun. Solat Magrib dan Isya saja yang bisa menghentikan ocehannya yang damai. Seperti mengerti kekacauanku, Bude berkata, “Mas belum pulang. Masih di perjalanan mungkin.” Aku tersenyum. Akh, terlihat hambar sekali senyum itu. Aku malu.
Hingga akhirnya Isya datang dan Landung belum juga sampai rumah. Saya solat Isya dulu saja, pikir saya. Seselesainya solat, seorang lelaki melintas di batas pandangan saya. Deg-deg-deg-deg-deg-deg. Semakin cepat. Landung. Dia indah sekali di titik sana. Tapi dia diam. Tak bicara. Hanya pada Arin saja dia bicara. Kenapa? Entah.
Malam itu rumah Bude ramai. Biasa, kalau ada tamu dari luar kota, pasti saudara-saudara yang lain juga turut menyambut. Tapi, ramainya rumah tak sama dengan hubungan saya dan Landung yang sunyi. Landung masih belum juga bicara sejak tadi. Bicara kepada saya, lebih tepatnya. Saya hanya bicara saja pada Adib dan Om Rifki yang datang menengok. Ramai di rumah ini, tapi tidak di hati. Hingga esoknya, ketika kami pergi ke Teluk Penyu, masih tak ada pembicaraan berarti. Menatap pun dia seolah tak sudi. Dan, aku masih juga belum mengerti. Rencana A, B, C, semuanya, gagal sudah. Tak ada pembicaraan ditemani matahari terbit/terbenam di pantai itu–yang sudah sejak awal saya rencanakan. Saya hanya hangus dilalap matahari karena seharian berterik-terik di bawahnya. Ditemani Arin, saya menenangkan badai di hati. Hingga badan ini hangus, hingga rambut ini rasanya kuyu, badai masih belum mau berlalu. Dan, kami pun pulang. Saya pulang membawa bara, di sini, di hati. Dia? Tetap tak peduli. Saya seakan ingin teriak, “Saudara-saudara semua, lihatlah. Hari ini saya memakai topeng berlapis-lapis. Tawa-senyum-girang-gembira-gita. Lihatlah. Ini khusus untuk saya pakai hari ini dan esok. Bagus, bukan?” Dan dalam bisik saya berkata, agar kalian tak usah melihat lirih yang ada di wajah saya sebenarnya.
Malam ini. Malam ini saya harus bicara, pikir saya. Harus. Dan, Arin pun juga bilang “harus”. Tapi, belum apa-apa, pengharapan ini sudah diberangus sedemikian rupa oleh penampilannya yang berjaket dan berpakaian rapi. “Saya mau keluar malam ini, bertemu teman-teman. Mungkin baru tengah malam bisa pulang.” Sementara, saya harus tidur cepat karena pagi-pagi benar harus menunggu bis pulang ke Jakarta. Ah, luruh sudah, dan benar saja, segala rencana–mulai dari A-Z–semua gagal. Saya bergeming. Beku. Ketika saya melirik keluar, gerimis sedang memancing hati saya untuk menangis. Tapi saya tidak menangis. Saya menantang hujan. Berbaur bersamanya, dan mengalahkannya. Saya malah menantangnya untuk membuat saya menangis. Saya menjerit dalam malam, menjerit dalam hujan, dengan rintik-rintiknya yang jatuh tepat di wajah, dan mengatakan, “Kamu tak bisa mengalahkan saya!” Dan, saya tidak menangis. Saya hanya basah. Dari ujung rambut, hingga kaki. Serta ada sedikit lebam pada hati yang dipaksakan untuk tidak menangis. Saya menang, Hujan! Saya menang, benak saya berkata.
Sesampai di pintu, Arin berucap pada saya keras. Bude khawatir, katanya. Kamu hujan-hujanan tak karuan. Dan, memang benar, Bude khawatir, tapi tidak memarahi. Hanya menyelidik ke dalam rongga mata saya, hingga sampailah ke hati. Bude tahu. Bude bisa membaca saya. Saya hanya menunduk. Dan, untuk pertama kalinya sejak kedatangan saya, Landung menatap saya lama, seolah ingin berkata banyak. Tapi, tak lama dia malah pergi dengan sepeda motor kesayangannya. Menemui teman-temannya di sana. Dia lebih memilih untuk pergi, daripada bicara pada saya. Menatap saya pun baru ketika saya sudah hancur berantakan, lebam-lebam di mana-mana.
Melihatnya pergi menerobos hujan, aku terduduk lemah, masih dengan pakaian yang basah. Masih diikuti pandangan heran dan khawatir dari Bude, Arin, Adib, dan Om Rifki. Tapi saya tak acuh. Saya hanya menunduk, menuju lantai. Dan, entah pertanda apa, di lantai, tepat di tempat saya menatap kosong, di sana ada kupu-kupu mati yang sudah dikerubungi semut. Kupu-kupu itu pertanda tamu. Dan, kini ia sudah mati. Saya semakin luruh. Saya sudah mati di dalam dirinya. Mungkin itu yang Landung coba sampaikan: saya sudah mati di hatinya.
Hari ketiga, dan pagi-pagi sekali saya harus pulang dengan bis jam 6. Kaget saya. Bude sudah bersiap mengoleh-olehi dua kardus besar untuk dibawa ke Jakarta. Saya tersenyum kepada Bude. Dan, Bude kembali masuk ke rongga mata saya. Mengetahui segalanya. Landung ada, tapi tetap tidak bicara. Landung mengantar, tapi bersikap seadanya. Hingga bis saya datang, dia hanya sangat seadanya. Menggagalkan segala rencana yang sudah disusun. Meninggalkan bekas lebam yang membiru di hati saya. Memaksa saya meninggalkan separuh hati saya bersamanya, untuk melupakannya, untuk merelakannya.
Sudahlah. Mulai kini, biarkan Landung hidup di kotanya saja, tidak di hatiku.
Dan, seolah menutup cerita kami, Landung ‘meresmikan’ perpisahan ini dengan pesan singkat yang datang di ponsel saya, “Saya melakukan semua ini supaya kamu membenci saya. Maafkan saya.” Luruh semakin luruh. Hingga tak dapat lagi aku berkata-kata. Hanya satu kalimat yang berulang-ulang kali kusenandungkan, “Saya sudah mati di hatinya. Saya sudah mati di hatinya. Mati.”
~ Bersambung...
February  2009 ~