Halaman

Search

13 Januari 2010

Catatan Perjalanan Asma Nadia Mengunjungi FLP-HK : Pahlawan yang Pembantu atau Pembantu yang Pahlawan !



Apa saja yang terbayang di benak kebanyakan orang tentang tenaga kerja Indonesia(TKI)? Terlepas dari bagaimana sikap kita kepada mereka. Masih cukup banyak yang beranggapan TKI di luar negeri adalah PRT yang kerap berdandan kampungan, gak intelek, norak, dan kalau ngomong selalu dengan suara keras. 

Setiap hari Minggu di Victoria Park, Hongkong, anda bisa melihat pemandangan yang seakan-akan membuktikan asumsi di atas. Pada hari libur itu, nyaris semua TKI tumplek di taman tersebut. Ngumpul, ajojing sampai pacaran. Dengan dandanan heboh, pakaian minim dan seksi mereka hampir tak pernah melewatkan kesempatan untuk 'mejeng' dan mungkin tebar-tebar pesona bagi yang jomblo. Atau nyari sampingan (teman selingkuh) bagi yang udah nikah tapi merasa aman2 saja bersikap  bebas di sini.

 Beberapa tahun yang lalu, dalam perjalanan pulang dari Malaysia, saya menumpang maskapai Gulf Air. Pertimbangan karena harga tiket pesawatnya paling murah. Ketika di dalam pesawat, melihat profesionalitas petugas penerbangan, pramugari dll, saya surprised dan gak mengerti, kenapa pesawat tersebut bisa menjual tiket dengan amat sangat murah. Apalagi kalau dibandingkan dengan Garuda misalnya atau penerbangan lain yang pernah saya naiki, peralatan makannya terlihat lebih luks. Lalu kenapa?


Ketika pesawat mulai terbang, saya baru menemukan jawaban. Ternyata pesawat tersebut sebagian  besar penumpangnya adalah TKI, dengan penampilan kebanyakan dari mereka, seperti yang saya sebutkan di atas. Para TKI itu dengan seenaknya duduk di atas arm chair, dan bukan di kursi yang disediakan. Sebagian lalu lalang seperti layaknya berada di sebuah shopping centre. Suara obrolan, tawa cekikikan terdengar riuh dan heboh. Seorang TKI yang kebetulan menjadi teman perjalanan saya, terus-terusan mengeluh tentang betapa beratnya kerja di Saudi, dari pagi sampai jam 2 malam. Kurang tidur, kurang makan, capek dan letih. Lalu tidak berapa lama perempuan berambut panjang itu bertanya apakah saya punya obat pusing? obat muntah? obat lain2, dengan sikap yang agak nyinyir dan  mengganggu.  Saya sarankan dia untuk bertanya kepada pramugari, sebab saya tidak membawa yang dia inginkan.


Pemandangan di sekitar saya ketika itu membuat saya kala itu merasa, wajar jika saya setiap kali terbang ke Singapore, Malaysia, Brunei, pokoknya keluar negeri, kerap mendapatkan perlakuan tidak ramah. Diskriminasi karena sebagian besar TKI ketika berangkat mengenakan kerudung, hingga saya dikira salah seorang TKI. Bahkan dalam perjalanan ke Hongkong 4 Juni 2005, seorang kru pesawat Garuda tujuan Jakarta Hongkong,  menepuk punggung saya dengan kasar (hingga terasa seperti memukul, bukan menepuk)  sambil bersuara keras, ketika saya yang memang bandel (pesawat blm benar2 berhenti, tp saya memang tidak tahu landasan sejauh itu) berusaha menurunkan tas di kabin). Teriakan si pramugari keras dan saya yakin didengar penumpang lain. Padahal dia bisa saja menepuk dengan sopan, dan mungkin berkata, "Duduk dulu, nanti saya bantu, Mbak!"


Saya yakin maksud pramugari itu baik, saya yang bandel, tp sulit untuk tidak merasa didiskriminasi karena seringnya saya menaiki maskapai nasional, keluar dan mendapat perlakuan yang berbeda. Anehnya lagi perlakuan ini lebih sering didapat dari maskapai indonesia, sementara maskapai lain (just being professional perhaps) biasanya lebih baik.


Terlepas dari semua attitude 'kurang baik' yang kadung melekat di TKI, saya merasa kita wajib mengembangkan rasa simpati yang besar, dan menolak diskriminasi (diskriminasi ini terlihat jelas bahkan ketika para TKI baru mendarat di terminal 3!). Tidak ada yang salah dengan menjadi pembantu. Pembantu atau domestic  helper adalah sebuah pekerjaan saja, seperti pekerjaan-pekerjaan lainnya. Mereka dengan jerih payahnya sudah menyumbang devisa yang teramat besar bagi negara. Mungkin mereka cuma pembantu, tp mereka punya  jasa bagi mengisi  kantong negara dalam jumlah sangat besar.


Apalagi pekerjaan itu, tidak seperti pekerjaan lain,  diluar sana telah menuai banyak sekali perlakuan buruk. Dicaci maki, dipukuli bertubi2, ditarik telinganya sampai berdarah, disetrika tangan dan badannya, disundut pakai rokok. Saya sempat berkunjung ke shelter, sebuah penampungan bagi pekerja buruh dari mana saja, yang dinaungi sebuah yayasan gereja. Dari sana saya bertemu dengan BMI (Buruh Migran Indonesia) yang memiliki kasus dengan majikan. Sebagian besar pernah dianiaya dengan cukup parah, bahkan salah seorang dari mereka, Cindy sampai terjatuh dari lantai atas karena disuruh mengelap jendela lebih bersih, dan dipaksa menjangkau tempat tinggi, meski tinggi badannya sangat mungil. Dalam keadaan lelah, dan kurang makan karena makanan sangat dijatah, (umumnya gak mendapat makan pagi, dan banyak yang boleh makan pada jam2 tertentu, atau disuruh makan  bekas majikan mereka), Cindy terjatuh. Untung saja tubuhnya nyangkut di atas garasi, hingga nyawanya bisa diselamatkan. Tapi tulang punggungnya patah dan cukup parah, ditambah terjadi penggumpalan darah. Meskipun sebulan di rumah sakit memulihkan kondisinya, Cindy terlanjur 'cacat' dan tidak bisa bekerja sedikitnya 15 thn dari sekarang.


Kasus terbaru bahkan merenggut nyawa seorang TKI yang disiksa selama 7 bulan, dan konon didorong dari lantai atas hingga tewas. meski kasus ini kebenarannya masih diusut, tp teman-teman di Asosiasi Tenaga Kerja Indonesia, atau ATKI menerima laporan dari sepupu Suprihatin, yang menyebutkan gadis tersebut sudah mengalami penyiksaan di luar bata selama 7 bulan, dan dibayar di bawah standar gaji, serta tak pernah diberikan libur.


Saya gak bisa berkata2 ketika teman2 ATKI menyodorkan sebuah foto berukuran  besar dari korban, ketika sehat dan cerah, lalu satu lagi foto ketika korban dalam keadaan koma dengan wajah bengap dan luka parah.


Saya ingin sekali, masing2 kita at least mulai dari diri kita sendiri lebih membuka tangan terhadap para domestic helper, kasus2 di atas bahkan terjadi juga di Indonesia. Masih cukup banyak orang menganggap PRT bukanlah manusia, atau setengah manusia. Membedakan makanan untuk mereka, dan untuk kita, menyuruh  makan di dapur dan tidak boleh di tempat lain dalam rumah. Seorang saudara malah pernah menyuruh saya mengingatkan 'mbak' di rumah agar sedikit berjongkok jika menyediakan minuman kepada tamu, usul yang langsung saya tolak, sebab di mata Allah, bagi saya belum tentu si tamu lebih mulia kedudukannya.


Mari kembangkan sikap lebih baik, syukur kalau kita bisa sedikit membantu mengentaskan mereka pada posisi yang lebih baik. Para TKI membutuhkan banyak bantuan dari alim ulama, sebab moral dan akhlak mereka juga terancam. Cukup banyak TKI yang terjerat arus pergaulan bebas, menjadi pelacur, simpanan orang asing, bahkan lesbianisme merebak pesat. Pasangan2 lesbian memiliki grup2 sendiri, dengan kepala desa yang bisa menikahkan mereka. Dengan santai pula mereka mengumumkan pertunangan dan hub mereka. Saling belai, peluk terlihat umum, terutama di Victoria Park ketika minggu.


Sungguh, di tengah kondisi yang bikin frustrasi tersebut, kehadiran dan komitmen dari teman-teman Forum Lingkar Pena Hongkong, yang dengan bersemangat berusaha menciptakan sejarah mereka yang baru dengan pena, sungguh menyejukkan. Di sela2 waktu, rutinitas dan keletihan, dengan tenaga2 sisa, dan akses komputer terbatas (sering diantara anggota yang luang saling mengetikan naskah temannya yang ditulis tangan) mereka terus menulis cerpen, puisi, bahkan cerita bersambung. Mereka menerbitkan buletin setiap bulan, dan aktif dalam pentas organisasi dan LSM Indonesia, di HK.


Kepada teman2 di Shelter, saya kemarin hanya menawarkan kepada mereka untuk mengikuti jejak teman2 FLP Hk, mungkin bergabung? Sehingga mereka bisa membuat satu lompatan dalam hidup. Menjadi pahlawan yang lain, dengan eksistensi yang membanggakan anak, dan orang tua serta keluarga mereka di sana. Tentu saja usaha dan jerih payah mereka di luar sudah sangat membanggakan. Tapi saya mencoba menyemangati, seandainya saja ada jalan yang murah, untuk menjadi 'seseorang', mengukir prestasi yang lain, menembus beton diskriminasi yang selama ini begitu kuat, kenapa tidak? Jalan itu adalah  menulis. Penghasilan mungkin tetap bisa mereka dapatkan dengan terus bekerja di sana, tapi pelan-pelan saya berharap semakin banyak TKI yang gila menulis dan mendapatkan eksistensinya di sana.

Teriring doa bagi perjuangan teman2 FLP Hongkong. Salut. Sementara untuk kita, apa yang bisa kita lakukan? Membuat mereka lebih cerdas, lebih melek dunia, dan memiliki attitude yang lebih baik. Mungkin bikin training sederhana tentang sikap? gaya dan tutur? busana mungkin? apa saja.


Saya yakin rekan2 dengan dunia masing2 mungkin bisa menawarkan sebuah cara yang lain untuk membantu mereka membuat sebuah lompatan, sambil sama2 berusaha mengubah image masyarakat kita tentang PRT,TKI, dan BMI. insya allah.(***)