Halaman

Search

01 Oktober 2009

Kronik Angsa Liar : Sastra-Seni di Kalangan Buruh Migran Indonesia


Belakangan ini dalam dunia sastra Indonesia muncul istilah yang tampaknya akan
semakin sering disebut-sebut: sastra buruh migran (Indonesia). Fenomena itu
ditandai dengan lahirnya karya-karya sastra dari "rahim" para pekerja wanita
kita di luar negeri, yang diam-diam sudah lama "mengandung" benih-benih potensi yang luar biasa...Terus terang, saya sempat dikagetkan oleh kehadiran Rini Widyawati, yang tahun lalu baru pulang dari Hongkong.
Selama dua tahun Rini memang bertaruh jiwa dan
raga menjadi domestic helper (pembantu rumah tangga) di negara bagian Tiongkok
itu. Nah, ketika pulang ke kampung halaman itulah, Rini membawa oleh-oleh
sebuah catatan harian yang, oleh beberapa kalangan, dinilai sangat nyastra. Tak
lama kemudian, oleh-oleh itu telah terbit menjadi buku dengan judul: Catatan
Harian Seorang Pramuwisma (JP-Books, Mei 2005). Rini boleh jadi termasuk salah
satu TKW kita yang istimewa. Secara akademis, dia hanya sempat mengenyam
pendidikan formal di sekolah dasar. Karena setelah itu, dia harus mencari
penghidupan sendiri keluar dari kemiskinan keluarganya di desa. Untungnya,
begitu sampai di kota (Malang), dia bertemu dengan seorang pengarang wanita
hebat:Ratna Indraswari Ibrahim. Maka, sambil membantu membereskan pekerjaan
rumah, Rini mendapat "pelajaran" secara khusus bagaimana "menulis sastra" dari
Mbak Ratna. Berhari-hari, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun, hingga Rini
menginjak dewasa. Hingga Rini kemudian memutuskan untuk pergi menjadi TKW di
Hongkong..



Saya benar-benar terperanjat ketika menerima naskah Rini (saat itu saya menjadi
editor di JP-Books) yang menurut saya benar-benar luar biasa. Dari pengalaman
menyunting buku Rini itulah saya lalu berkenalan (atas bantuan cerpenis Lan
Fang) dengan wartawati Berita Indonesia (salah satu koran berbahasa Indonesia
yang beredar di Hongkong). Dia bernama Ida Permatasari yang lebih senang
memakai nama Arsusi Ahmad Sama'in dalam tulisan-tulisannya (kebanyakan berupa
cerpen). Perempuan asal Blitar itu yang sangat bersemangat memprovokasi
perempuan buruh migran asal Indonesia di Hongkong untuk: menulis, menulis, dan
menulis! Untuk mewadahi para penulis BMI itu, Ida lalu membentuk komunitas
penulis BMId untuk saling asah dan asuh demi meningkatkan kualitas
tulisan-tulisan mereka.
Kekaguman saya makin menjadi-jadi tatkala memasuki milis-group mereka. Banyak
mutiara terpendam di sana. Jika saja kita tekun dan sedikit sabar memolesnya,
pastilah mutiara-mutiara itu bakal berkilauan, menyemarakkan Taman Sastra
Indonesia.



Bagi para aktivis BMI, menulis ibarat pedang bermata banyak. Dengan
memanfaatkan waktu luang dan waktu libur untuk menulis, mereka akan terhindar
dari godaan-godaan yang bisa menjerumuskan ke jurang kenistaan panjang di
perantauan.
Dengan menulis, para BMI juga bisa melakukan semacam terapi diri,menyalurkan
"hawa buruk" berupa rasa rendah diri, frustrasi karena
majikan terlalu cerewet, bahkan mungkin juga kasar, jahat, dan lain-lain, ke
dalam tulisan. Apa saja bentuknya.



Dengan menulis, mereka juga bisa menyuarakan aspirasi, menentang secara cerdas
tindakan-tindakan pihak lain: birokrasi, majikan, dan pemerintah, yang tidak
adil terhadap mereka. Dalam kata lain, dengan menulis para BMI menolak untuk
sekadar dicatat sebagai salah satu sumber devisa negara. Sebab dengan menulis
mereka menjadi subjek yang berkuasa penuh atas apa yang hendak mereka goreskan.

Dengan menulis, para BMI yang oleh masyarakat awam dipandang golongan "hina",
babu, budak; melompat ke dalam "kasta" paling tinggi yang bisa dicapai seorang
manusia.

Pertumbuhan dunia sastra di kalangan BMI itu diikuti oleh munculnya
komunitas-komunitas sastra yang mewadahi mereka. Di Hongkong,menurut Ida, saat
ini sedikitnya ada tiga komunitas BMI yang aktif di bidang penulisan. Yakni
Forum Lingkar Pena (FLP), Kopernus (Komunitas Perantau Nusantara), dan Café de
Kosta yang dikomandani Ida Permatasari. Mereka telah membuktikan diri dengan
bersaing secara bebas dengan penulis-penulis lain dari berbagai kalangan.
Karya-karya mereka mulai bermunculan di media-media cetak, di dalam maupun luar
negeri.


Selain Ida, beberapa penulis BMI juga sudah saatnya diperhitungkan namanya di
jagat persilatan Sastra Indonesia. Sebut saja, misalnya,Lik Kismawati asal
Surabaya, Wina Karnie dan Etik Juwita (Blitar),Tania Roos dan Mega Vristian
(Malang), Hartanti (Ponorogo), Dian Litasari (Banyuwangi), Tarini Sorrita
(Cirebon), Suci Hanggraini (Madiun), dan Atik Sugihati (Kediri). Karya mereka
sudah bertebaran di banyak media.


Sekarang, apakah Anda tidak merasakan kejutan indah oleh berita ini:


Seorang pramuwisma asal Cirebon yang kini bekerja di Hongkong telah menerbitkan
buku kumpulan tulisan reflektifnya berjudul Big Question, Don't Look Dawn at
Domestic Helper. Tarini Sorrita,begitulah nama pena pramuwisma ini, langsung
menulis dengan bahasa Inggris, dan atas bantuan temannya yang berkebangsaan
Swiss, buku itu berhasil diterbitkan. Sayangnya tidak di Indonesia.
Pemerintah dan instansi terkait sudah selayaknya merasa bangga dengan kiprah
para BMI itu. Jangan malah memandang mereka dengan mata curiga, karena
dianggap: tidak selayaknya seorang babu mempunyai keahlian sebagai penulis sebagai penulis...***


JawaPos