''Katakan di pucuk pohon mana kau menginginkan kita bercinta?'' Tanyaku menggodanya.
Mendengar kalimat itu, sebentar matanya menatap mataku. tapi, hanya sebentar. Kami memang tak pernah benar-benar berani bercinta. Setumpuk firman dalam kitab suci masih cukup untuk menakut-nakuti kami berdua bila melakukannya. Sederet nilai seolah menjadi jangkar yang memberati pikiran untuk meyakini bahwa hal kayak gitu mah biasa. Bercinta di atas pohon tertinggi adalah imajinasi terliar yang pernah kami obrolkan. Hahaha, sungguh diskusi dua orang penakut.
Dia masih saja diam.
Dia diam. Hanya badannya yang bersandar di tembok sesekali terguncang pelan. Ada danau menggenangi matanya. Ya, dia menangis diam-diam. Sudah hampir dua jam aku merayunya berbicara. Namun, seberapa kalimat yang meluncur dari bibirku, selama itu pula ia memilih tak berbicara, jujur aku bingung. Bibir mungilnya yang terbiasa ramai oleh bunyi kini terbungkam rapat tanpa suara. ''Berceritalah..!'' pintaku. Tetap tak tersahuti.
Sementara di luar, gerimis mulai turun. Sesekali tempias airnya masuk melewati lubang jendela kamarku yang tak tertutup rapat. Kulirik jam dinding, sudah pukul 17.13 WIB. Beberapa jam sudah berlalu sejak ia datang dalam diam. Aku sudah mulai kelelahan merayunya berbicara. Aku pun sudah hampir kehilangan kalimat-kalimatku sendiri. Tiba-tiba saja dia berbicara ''Aku hamil…tidak denganmu. tapi orang lain.''
(2)
Sebuah pesan singkat tiba-tiba muncul dalam kotak pesan hapeku : "Kutunggu di taman yang dulu, jam lima sore ini. Salam. Ana.''
Aku masih tak percaya. Kuulangi sekali lagi membacanya. Masih sama. Tak ada satu pun huruf yang berubah. Tanpa bermaksud merendahkan kemampuan teknologi aku mencoba mengamankan perasaanku dengan berusaha tak percaya. Bagaimana mungkin Ana tiba-tiba muncul lagi dalam kehidupanku. Telah delapan tahun aku mencoba mengubur segala ingatan tentangnya. Yang mati biarlah mati.
Aku berusaha kembali menekuri pekerjaanku yang nyaris terancam deadline. Tinggal satu halaman saja, maka aku bisa menyetorkannya pada redaktur sore ini juga. Tak terlampau susah buatku untuk menyelesaikannya. Semua sudah ada di kepala. Sedetik, dua detik, semenit, merambat satu jam. Tanganku tiba-tiba terasa tak bisa bergerak. Dua puluh enam simbol alphabet ditambah 10 angka dan ikon-ikon lain dalam tuts keyboardku seolah hilang arti. Bahkan tiba-tiba 17 inch layar monitor di depanku langsung menjelma dirinya. A N A ...Ah, pesan yang dikirimnya sore ini tak kusadar telah mendera batinku.
Ingatan kembali tentangnya kurasa bagai pukulan emosional yang nyaris tak terlawan. Mungkin seperti ini rasanya ketika Superman bertemu hijau batu krypton?Arrgghh...mengapa aku masih saja seperti ini.Ana adalah kosong. Nama dan bayangannya telah kubunuh bertahun-tahun lalu. Aku memang telah memaafkan segala pengkhianatannya. Walau sangat berat aku berusaha menaruh egoku di koordinat terbawah waktu itu. Ia hamil dengan orang lain. Ia tak pernah mau pernah mau bercerita siapa lelaki itu. Bahkan, sampai akhirnya ia pergi menghilang, aku tetap tak mampu marah.
Pergilah dengan semua cinta yang kau punya. Biarkan aku berjalan semampunya dengan mengumpulkan sisa-sisa patahannya. Getirku sudah lenyap. Sebab, kegetiran yang bertumpuk-tumpuk tak akan terasa lagi sebagai kegetiran. Ia hanya akan menjadi rasa yang biasa.
Sudah jam lima. Aku harus datang menemui Ana sore ini, walau telah terlambat. Aku tak peduli. Ruang dan waktu hanyalah buatan manusia. Sementara rasaku adalah adikarya Tuhan yang bahkan tak diberikan-Nya kepada malaikat sekalipun.Tak sampai sepuluh menit aku telah tiba di taman.
Taman akasia tempat kami dulu sering menghabiskan hari. Aku berjalan menuju bangku kosong di bawah pohon akasia terbesar di pojok kiri taman. Tempat duduk favorit kami. Aku duduk sendirian. Ana belum datang.
Ana bukan lagi kosong. Sore ini ia berubah wujud menjadi teka-teki silang buatku. Pertanyaan demi pertanyaan muncul tanpa jawaban. Apa kabarnya? Apakah yang diinginkannya dariku sore ini? Masih kah wajahnya yang tirus membius itu mampu memompa adrenalinku? Entahlah...Sedetik, dua detik, semenit merambat satu jam. Ana belum juga datang. Satu jam, dua jam, tiga jam. Ana belum juga hadir melegakan penantianku. Gerimis mulai turun menemani malam yang semakin menua. Sudah lima jam aku menunggu di bangku taman ini. Sendiri... Akhirnya aku berdiri. Berjalan menerobos gerimis.
Meninggalkan kosong, menuju pasti. Walau malam gerimis...
Seseorang tiba-tiba menepuk pundakku pelan. ''Mari kita pulang. Biarkan dia istirahat dengan tenang''.
Aku menoleh, lalu mengangguk. ''Bukan hanya kamu yang merasa kehilangan. Tapi, sudahlah. Dia telah memilih jalannya sendiri,'' ujar ayah Ana sambil tetap memegangi pundakku. Aku berdiri, kemudian mengiringinya meninggalkan pekuburan tempat Ana baru saja ditanam. Belum genap lima meter berjalan memunggungi kuburan, aku sudah diburu rindu. Kusempatkan lagi menengok gundukan tanah basah tempatnya menjalani tidur panjang tanpa mimpi. Tiba-tiba saja aroma kamboja meruap. Lembut. Dalam sedetik seluruh pekuburan menjelma putih kapas. Aku tergeragap. Ah, malaikat memang tak pernah mau hadir terlambat. Ia selalu datang dan beruluk salam pada penghuni baru, tepat setelah langkah ketujuh pelayat terakhir meninggalkan makam.
(3)
''Sebelum masuk rumah sakit jiwa, Ana tak sekecap pun mau berbicara. Dia hanya menulis. Rupanya ada banyak hal yang ingin disampaikannya kepadamu. Ambillah! Kamu lebih berhak untuk menyimpannya,'' ujar mama Ana ketika aku mampir ke rumahnya seusai pemakaman.
Daun-daun akasia yang berwarna kuning banyak berjatuhan. Ia seolah mengabarkan kelelahan bertahan menghadapi kemarau yang membakar dan tak putus-putus. Senja ini aku duduk sendiri di bangku taman akasia.
Satu demi satu kubuka tiap lembar halaman buku harian Ana. Membaca buku harian Ana membuat kesedihan tumpah ruah.
7 Desember 2004
(malam jahanam)Tuhaaaaan!!!!!! Takdir macam apa ini?????KAU biarkan bajingan bajingan itu mengobrak-abrik kehormatanku, menindas kemanusiaanku. Apa salahku????? Bukankah KAU yang berkehendak menjadikanku perempuan???? Kenapa KAU relakan orang-orang itu melecehkan martabat yang sudah kujunjung tinggi-tinggi???? Aku benci KAU Tuhan. Aku benci Tuhan yang telah membiarkanku diperkosa.
30 Desember 2004
Lihat, lihatlah...aku mual-mual tanpa ampun. Jangan...Jangan aku hamil oleh benih para jahanam itu. Tolong Tuhan, sekali ini saja dengar dan kabulkan permintaanku!
31 Desember 2004
Fucking Pregnant...!!!!!!!!!!
1 Januari 2005
Resolusi awal tahun: Bunuh Diri
7 Januari 2005
Menatap mata teduhmu sore tadi membuatku luluh lantak. Mengingat caramu merayuku berbicara seperti menahan rasa perih sebab tertikam tepat di ulu hati. Aku mencintaimu. Sebab itu kalimatku tak pernah sampai. Aku tak pernah tega mengabarimu yang sebenarnya. Aku ingin kau membenciku. Karena itu bisa mengeruk perasaan bersalahku yang bergunung-gunung kepadamu. Aku ingin kau membenciku, seperti aku membenci takdir yang berjalan buruk.
8 Januari 2005
Aku masih mencintai gerimis, dan membenci badai.
13 Januari 2005
Virginia Wolf membunuh dirinya sendiri dengan mencebur ke dalam sungai. Hitler tewas setelah menembak kepala sendiri di lubang persembunyiannya. Cak Sakib tetangga sebelah rumah mati dikeroyok massa karena dituduh dukun santet. Ustadz Rojil mengembuskan penghujung nafasnya saat sujud salat di musala rumahnya. Adakah bedanya bagiku? Tidak ada! Kematian sesungguhnya peristiwa biasa. Kecuali ia menimpa orang-orang dekat kita.
18 Januari 2005
Janin dalam rahimku tumbuh bersama kebencianku pada hidup.
21 April 2005
(Saat aku ragu apa gunanya menjadi perempuan) Ini hari kartini. Sudah seminggu aku tergolek di rumah sakit, Mama memergoki dan mengagalkan usahaku bunuh diri. Aku tetap hidup, tapi janinku mati.
18 Agustus 2005
Lucu. orang-orang menganggapku mulai gila. Padahal, sungguh aku tidak apa-apa. Aku hanya muak pada garis dunia yang tidak berpihak kepadaku.
19 Maret 2007
Tiba-tiba aku kangen kamu. Aku ingin menangis tapi tak bisa. Mungkin juga sudah tak perlu. Aku ingin kita bertemu di taman yang dulu,tapi tak bisa. Mungkin juga sudah tak perlu. Tahukah kau betapa sakitnya terpuruk pada keinginan yang tak sampai. Aku menyintaimu lebih dari sekedar yang bisa aku lakukan.
21 Mei 2008
Hari ini aku masuk rumah sakit jiwa. Bukankah itu artinya aku sudah benar-benar gila??!!! Hahahahaha. Sungguh aneh orang-orang itu. Kamu percaya bahwa aku tidak gila kan?
28 Oktober 2008
Bisa jadi cinta memang buta, tapi kita tidak. Aku ingin memilihmu menjadi pengantinku di surga nanti. Kamu mau?
1 November 2008
Hari ini aku ulang tahun. Sejak pagi tadi aku sudah mandi. Perawat rumah sakit memujiku cantik. Iya, aku memang sengaja berdandan paling cantik hari ini. Bukan untuk meniup lilin ulang tahun, tapi untuk pulang menuju Tuhan. Dua hari lalu aku sudah berhasil mendapatkan arsenik yang kupesan pada tukang es cendol yang biasa mangkal di luar zaal rumah sakit jiwa. Aku yakin racun itu akan menjadi menara Babel yang undakannya bisa mengantarku ke surga.
Dunia, selamat tinggal.
Kututup buku harian Ana. Kurapalkan doa buatnya. Lalu, kutinggalkan bangku taman akasia bersama gerimis yang tiba-tiba datang bersama semerbak kamboja. Selamat sore Ana..
____________________________________oo0oo____________________________________________
cerpen ini merupakan tetralogi cerpen terdiri dari : Gerimis, Gerimis II, Gerimis Terakhir